SENJA MEMBARA DI DANAU SEMAYANG DAN PESUT YANG MEMBERI SAMBUTAN SELAMAT DATANG

0
1934

Kapal kecil itu terus melaju, meluncur membelah perairan Mahakam. Arah kapal menunjuk sudut 90° di sebelah kiri jarum kompas. Kami menuju ke barat. Mengejar waktu, menangkap moment-moment terindah sesaat, sebelum matahari tiarap. Untuk menuntaskan dahaga terhadap keindahan Mahakam di saat sunset, saya segera naik ke atas atap kapal. Di sanalah saya bisa memandang dengan lebih leluasa segala penjuru yang melingkupi kawasan sungai terbesar kedua di Kalimantan tersebut.

Kira-kira 10 menit kapal itu melaju. Dari kejauhan tampak sebuah jembatan berwarna kuning yang anggun. Jembatan kokoh itu melintas di atas Mahakam. Orang Kutai menyebutnya jembatan Abu Nawas. Nama itu diberikan karena ketika jembatan sudah dibangun melintang diatas sungai yang jaraknya ratusan meter ternyata tidak ada jalan yang menghubungkan daratan dengan kedua ujung jembatan. Rupanya dana anggaran Pemda yang terbatas menjadi salah satu penyebabnya. Untuk menumpahkan rasa gemas atau geli mereka masyarakat memberi nama jembatan itu Abu Nawas. That is the uniqueness of the regency in the most eastern Borneo.

Perjalanan terus berlanjut. Kamera-kamera ponsel sudah kami persiapkan sejak siang. Batere harus di-charge penuh, jangan sampai habis sehingga tidak ada moment penting dalam perjalanan yang terlewatkan. Jujur kami hanya mengandalkan kamera ponsel, karena kami bukan wartawan the Discovery Channel. Tidak seperti mereka yang mata pencahariannya memang berhubungan dengan kegiatan intip mengintip, kami menganggap urusan ambil gambar di saat bepergian hanyalah selingan. Itu bukan hal yang utama. Perkara kemudian gambar yang dihasilkan kualitasnya juga tidak seberapa, mungkin karena gangguan cuaca yang gelap dan sebagainya, itu memang sudah resiko yang kami harus menghadapinya.

Kapal mulai berbelok menyerong ke kiri dan kadang-kadang ke kanan. Arah kapal mengikuti alur sungai Mahakam yang kadang-kadang tidak bisa dipastikan. Matahari yang sejengkal lagi mencapai cakrawala memancarkan semburat kuning keemasan. Pada jarak yang lebih jauh dari pusat warna emas itu langit kuning itu bercampur dengan warna jingga, lalu disusul warna biru tua kehitaman. Jika dibidik dengan kamera, kilauan emasnya seperti mutiara di tengah kegelapan.

This is the great sunset moments! Inilah momen yang ditunggu-tunggu. Sebagian anggota rombongan segera menyusul saya naik ke atap kapal. Mereka ingin mengabadikan momen-momen paling penting dalam perjalanan tersebut. Berbagai pose foto diambil para IGIers tersebut. Ada yang berpura-pura menangkap matahari dengan kedua tangan, menyentuh dengan telunjuknya, memandang mesra dari sampingnya, dan lain-lain.

Gerak kapal yang tidak selalu lurus membuat para penjemput moment sunset tersebut harus bergerak lincah menyesuaikan diri. Matahari yang kian buram di kejauhan juga seolah mengajak bermain petak umpet. Ia kadang hilang kadang timbul di antara rerimbun pepohonan yang tumbuh di tepi sungai. Maka perpaduan gerak, posisi, dan pemanfaatan waktu yang tepat menjadi kreativitas tersendiri yang “mahal” dan sulit dicari.

Perjalanan kapal akhirnya mencapai suatu tempat yang sangat luas. Jika sebelumnya jalur Mahakam yang dilalui adalah perairan yang lebarnya sekitar 500 meteran, maka tempat yang baru di capai itu seperti tidak terbatas. Sangat luas. Pepohonan yang sebelumnya tampak di tepi-tepi perairan, kini mulai menghilang. Itulah danau Semayang. Di tempat itu konon pesut-pesut Mahakam yang mulai terancam kepunahan bersemayam. Pesut-pesut itu bergerak ke hilir ketika musim banjir dan kembali ke hulu ketika musim kemarau.

Semakin kapal menuju ke tengah danau, senja semakin membara. Langit yang melatarbelakangi danau tampak merah menyala. Langit senja di danau Semayang bagai bara api yang terbakar di dalam tungku raksasa. Atau jika malam adalah kerak bumi, maka langit senja adalah magmanya. Warnanya kian memerah saga. Di bagian kiri, kanan, dan atas, langit yang mulai tidak terjangkau sinar matahari yang sudah mulai jauh di bawah cakrawala, kini tanpak hitam menjelaga. Bulan yang terbit di ufuk timur masih tampak pucat. Cahayanya belum seberapa kuat untuk menyinari perairan. Danau Semayang semakin kelam ketika senja mengucapkan salam perpisahan.

Kami sudah jauh memasuki danau ketika tanpa di duga, tiba-tiba muncul serangga kecil-kecil yang mengerubuti kami. Entah darimana serangga-serangga itu datangnya. Sesaat kami harus repot mengusir mereka dari muka dan tubuh kami. Baru setelah kita meminta nahkoda berbalik arah, “serangan” serangga tersebut menjadi reda dan akhirnya hilang sama sekali.

Momen setelah sunset yang paling ditunggu IGIers adalah momen keberuntungan. Yaitu kesempatan langka di mana kita bisa berjumpa dengan pesut Mahakam. Konon kabarnya hanya orang-orang yang mujur saja yang bisa berjumpa dengan mamalia air itu di danau Semayang. Oleh karenanya, sambil menunggu kemujuran itu, kami lalu duduk melingkar di atas atap kapal. Kami melakukan rapat organisasi di “atas” kapal! Mas Gusti Surian dan mas Sigit Sigalayan memimpin rapat secara bergantian.

Karena singkatnya waktu, rapat hanya membahas hal-hal yang penting saja. Terutama terkait peningkatan peran IGI di segala lini di Kutai Kertanegara. Kerjasama untuk meningkatkan pendidikan yang ditawarkan banyak pihak akan segera ditindak lanjuti dan direalisasikan dalam kegiatan-kegiatan nyata. Agenda terpentingnya adalah persiapan kongres di Literasi Internasional di Kutai Kertanegara.

Setelah diambil keputusan-keputusan sementara akhirnya rapat dibubarkan dan kapal pun meluncur meninggalkan danau. Saya berdiri di ujung depan atap kapal karena ingin mengambil gambar bulan yang mulai muncul. Sinar purnamanya yang berkilauan memantul di atas perairan memancarkan kesyahduan tersendiri. Saya tiba-tiba ingat lukisan pemandangan purnama yang berpuluh tahun yang lalu pernah saya buat. Syahdu.

“BYURR…!” Tiba-tiba terdengar suara deburan air yang keras sekali di sisi kanan kapal. Suara itu diikuti dengan riak air berbentuk lingkaran besar dengan di tengah-tengahnya terdapat lubang sesaat. Saya terperanjat! Sepersekian detik ujung mata saya sempat melihat ada bayangan besar yang kembali menyelam. Sayang suasana sudah mulai gelap, saya hanya bisa menduga-duga. Mungkinkah ini kemujuran yang sangat langka itu?

“PESUT!” Teriak saya sedetik kemudian. Mendengar teriakan saya, semua berusaha bergerak menuju ke depan dan berada di sekitar posisi saya.

“Iya! Benar , itu pesut! Llihat bekas air yang ditimbulkannya,” seru lainnya.

Kami semua akhirnya menunggu, barangkali ada momen yang sama yang akan terulang lagi. Kabarnya di daerah perkampungan terapung Pela, yang merupakan perbatasan antara Mahakam dengan danau Semayang, memang menjadi tempat favorit lumba-lumba air tawar ini memunculkan diri. Dan saat itu kami persis berada di daerah tersebut.

Kami masih menunggu harap-harap cemas dan bersiap-siap dengan kamera-kamera ponsel kami. Semua menatap waspada. Kapal kami minta bergerak lebih pelan. Sampai seperempat jam kemudian dan kami kembali memasuki perairan Mahakam apa yang dinanti-nantikan tidak kunjung datang. Yang ada hanya sesekali deru perahu yang berpapasan atau mendahului kapal dengan lampu penerangan yang sangat menyilaukan. Atau kumpulan gerumbul Enceng gondok yang terombang-ambing oleh air dan membentuk bayangan seperti makhluk besar meliuk-liuk menyeramkan.

Rupanya kemunculan pesut yang hanya meninggalkan jejak di air itu hanyalah bonus untuk kami semua. Ibaratnya, itu adalah sebuah sambutan selamat datang atau welcome drink yang pada kesempatan lain bisa dilanjutkan dengan having dinner, breakfast, atau lunch bersama.

Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke Darmaga dan mengakhiri Perjalanan yang sangat mengesankan tersebut. Semoga lain kali kita benar-benar akan bertemu dengan keluarga itu pesut dalam suasana yang lebih santai dan tidak terburu-buru.

Salam Pesut Mahakam!

Mampuono
#menemubaling (Sampangan, 110417, Menulis sambil menunggu potong rambut di Barbershop)

Comments

comments