DOING THE IMPOSSIBLE

0
1281

“Sekali dalam hidup Anda harus menulis sebuah buku untuk membuktikan bahwa hidup Anda cukup berharga untuk dituliskan”

Jika Anda perhatikan belakangan ini Anda akan melihat fenomena yang cukup aneh, mengherankan, dan mengejutkan, yaitu fenomena para guru menulis buku. Ya, di seluruh Indonesia sedang terjadi ‘demam menulis buku’ yang dilakukan oleh para guru (dan sekarang mulai bergerak ke siswa-siswa). Mengapa ini aneh dan mengherankan? Karena fenomena ini tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Sebelum ini para guru menganggap bahwa menulis buku adalah sebuah kemustahilan bagi mereka. Hanya mereka yang memiliki bakat dan karunia kepandaian menulis dari Tuhan yang bisa menulis dan menerbitkan bukunya. Menulis dan menerbitkan sebuah buku bagi guru yang awam adalah sebuah mimpi yang tidak pernah hadir dalam tidur selama ini. Kalau pun ada satu atau dua guru yang menulis maka itu adalah sebuah hal yang luar biasa. Mereka adalah para guru ‘luar biasa’ yang dikarunia bakat menulis oleh Tuhan dan karunia itu bukanlah milik setiap guru. Para guru umumnya menganggap bahwa menulis buku adalah ‘doing the impossible’. Gak mungkinlah aku…

Tapi kini tiba-tiba para guru seperti keranjingan ingin membuktikan diri bahwa ‘they can do the impossible’, mereka ingin membuktikan bahwa mereka juga bisa menulis seperti para penulis besar, sastrawan, dan penulis lainnya yang telah membuktikan dirinya lebih dahulu. Dan tiba-tiba kini RIBUAN GURU secara simultan berhasil menerbitkan buku mereka baik secara antologi, artinya keroyokan, atau pun individual, setiap guru menerbitkan bukunya masing-masing. Benar-benar fenomena guru menulis dan menerbitkan bukunya belakangan ini adalah seperti air bah. They come in hundreds or thousands. Bahkan ada guru yang sebelumnya tidak pernah berpikir akan bisa menulis ternyata saat ini telah menerbitkan bukunya yang ke sekian berkat sebuah gerakan bersama, yaitu Gerakan Guru Menulis. Ternyata ‘nothing is impossible when you really want it’ kalau benar-benar mau maka apa yang semula dianggap tidak mungkin akan menjadi mungkin. Saya harus memberikan kredit kepada beberapa pelopor yang luar biasa untuk ‘Gerakan Guru Menulis’ ini, yaitu kepada Mas Ihsan Mohammad dengan SAGUSABU-nya dan Daeng ‘Muhammad Ramli Rahim dengan SAGUSAKU-nya. Apa beda dua program ini? Bedanya hanya pada operatornya. SAGUSABU mau pun SAGUSAKU memiliki kepanjangan yang sama yaitu ‘Satu Guru Satu Buku’. Jadi ini adalah program yang sama dengan cara penggarapan yang berbeda. Lho kok bisa? Kenapa tidak bisa? Bukankah ‘nothing is impossible’…?! 😄 Lagipula mereka berdua adalah para pendekar IGI (Ikatan Guru Indonesia), yang kini mengembangkan jurus-jurus sakti mereka masing-masing. Daeng Ramli masih di IGI, dan bahkan menjadi Ketua Umumnya saat ini sedangkan Mas Ihsan yang dulunya adalah Sekjen IGI saat ini sudah tidak lagi di IGI dan mendirikan perguruannya sendiri, yaitu Media Guru. Mereka berdua menggerakan para guru di seluruh Indonesia untuk mulai menulis dan menerbitkan buku mereka sendiri dalam jumlah ratusan peserta sekali jalan dan kini peserta gerakan ini telah menjadi ribuan. They have been doing the impossible or even the unthinkable…! 😊

Saya juga harus memberikan kredit khusus kepada Mas Mampuono Rasyidin Tomoredjo, Sekjen IGI saat ini, yang bahkan menciptakan sebuah metoda dan aplikasi ‘Menemu Baling’ atau ‘Menulis dengan Mulut dan Membaca dengan Telinga’, sebuah aplikasi yang memungkinkan seseorang untuk menuliskan kisah-kisahnya atau apa pun konsep yang ingin ia tuliskan cukup dengan berbicara di telpon genggamnya atau mendengarkan apa pun yang tertulis tanpa perlu membacanya. Dengan aplikasi yang ia kembangkan dari aplikasi ‘speech to text’ dan ‘text to speech’ yang ada di telpon genggam ia lalu mengajarkan pada para guru dan siapa saja yang ingin mulai menulis buku bagaimana menulis cukup dengan mengungkapkannya via suara dan belakangan baru diedit sesuai dengan kebutuhan. Aplikasi ini sangat populer dan mampu mendorong para guru yang semula skeptis dengan kemampuan menerbitkan bukunya. Dengan aplikasinya banyak guru yang akhirnya berhasil menulis dan menerbitkan buku pertamanya.

Terus terang hal ini membuat saya sangat gembira dan bersyukur. It really makes me joyful. Selama ini kami di IGI selalu menekankan bahwa ‘nothing is impossible’ dan kita bisa melakukan hal-hal yang dianggap orang tidak mungkin. Saya sendiri tidak pernah peduli pada apa penilaian orang pada apa yang kami lakukan di IGI karena seperti kata Nelson Mandela ‘It always seems impossible until it’s done’, selamanya sesuatu itu tampak tidak mungkin sampai kita berhasil melakukannya. Saya sendiri sering diolok-olok oleh teman-teman di IGI punya kegemaran ‘mengecat langit’. 😄 Setiap kali mengusulkan sesuatu yang ‘seems impossible’ mereka selalu bilang saya mulai ‘mengecat langit’. Why not…?! Mau minta langit dicat warna apa? 😄

Saya ingat sekali betapa IGI di awal berdirinya diolok-olok oleh teman-teman di PGRI karena kami tidak mengenakan iuran bulanan atau apa pun kepada setiap anggotanya. Anggota IGI hanya membayar uang pendaftaran dan pembuatan kartu anggota sekali seumur hidup yang sangat murah. Tak ada iuran anggota sebagaimana organisasi lain. Toh kami semua bermimpi besar untuk mengubah dunia pendidikan Indonesia dari mengubah mindset para gurunya. Kami sama sekali tidak melihat apa pun hambatan dan halangan untuk itu. Kami hanya melihat kemungkinan dan kemungkinan dan membuatnya menjadi kenyataan. Strange but true. 😊

“Uang iuran bulanan anggota itu adalah syarat untuk menggerakkan roda organisasi. Itu pelumasnya. Bagaimana mungkin roda sebuah organisasi bisa bergerak tanpa iuran anggota?” Demikian kata mereka yang skeptis. Saya sengaja tidak menjawab waktu itu karena untuk apa menjelaskan sesuatu yang tidak mungkin bagi mereka? 😄 Kata-kata tidak diperlukan pada saat itu tapi tindakan nyatalah yang perlu kita tunjukkan. Faktanya saat ini IGI telah berdiri di 34 Propinsi dan di 388 Kota/Kabupaten di seluruh Indonesia. Dan itu semuanya kami lakukan tanpa perlu menarik uang iuran pada anggota kami sama sekali. Tidak ada dana dari Kemendikbud, Disdik, atau kementerian apa pun yang menopang kami. Tidak ada jendral atau petinggi di belakang kami. Kami juga tidak memiliki cukong macam Sandiaga Uno, Erick Thohir, apalagi Hary Tanoe, di belakang kami. Tidak ada selebriti (kecuali Dhitta Puti Sarasvati dan Bu Itje Chodidjah). Yang ada malah mantan anggota Kaypang macam Mas Nanang, Ahmad Rizali, dan Habe Arifin. 😄 Mendirikan organisasi guru di 34 Propinsi dan 388 Kota/Kabupaten tanpa dana, kekuasaan, dan nama besar adalah sebuah hal yang fenomenal. Ada ratusan pelatihan guru yang kami lakukan dengan mengikutsertakan hampir sejuta guru hanya dalam setahun. Bahkan kemendikbud tidak bisa melakukan ini. Swear…! 😄 Ini belum bicara tentang hambatan, tantangan, dan berbagai ancaman yang diterima oleh para anggota IGI di banyak daerah dalam menggerakkan organisasinya yang sampai hari ini masih berlangsung dengan massif. Still they achieve the success they deserve. Ini semua spektakuler. Are you surprised? Me, too. 😄

Saya kagum pada Jokowi yang berhasil membangun begitu banyak di masa kepemerintahannya yang singkat. Tapi itu semua dengan mengerahkan semua kekuasaan, dana, dan potensi bangsa. Kalau perlu pinjam dari negara lain. 😄 IGI melakukan semua prestasinya tanpa dana, kekuasaan, atau pun nama besar yang bisa menggoncangkan gunung atau pun menggerakan pena menuliskan angka. Kalau pun ada nama besar yang bisa disebut maka itu adalah Prof Indra Djati Sidi, Dr. Gatot Hari Priowirjanto, dan Pak Bagiono Sumbogo yang sejak awal mengawal dan menemani para guru untuk bergerak dan berubah menjadi raksasa seperti sekarang ini.

IGI telah berhasil membuktikan bahwa Guru Indonesia, yang dilihat dengan begitu skeptis dan pesimis pada jebloknya nilai Uji Kompetensi Guru (UKG) mereka yang rata-rata secara nasional hanya 53,02 (di bawah target pemerintah) pada UKG 2015, atau pun pada hasil tes PISA siswanya, ternyata bisa melakukan banyak hal jika kita memunculkan kepercayaan diri mereka bahwa mereka bisa melakukan banyak hal yang mungkin selama ini disugestikan pada mereka bahwa mereka tidak bisa. Mereka bisa…! IGI sudah membuktikannya. Banyak hal-hal fenomenal yang telah dilakukan oleh IGI selama ini yang membelalakkan mata para pejabat Kemendikbud dan Disdik Propinsi/Kota/Kabupaten dan masih akan banyak hal-hal fenomenal yang akan dilakukannya. But I don’t want to steal the show. Biarlah para pengurus dan anggota IGI yang akan bercerita hal-hal ‘tidak mungkin’ apalagi yang telah mereka jadikan ‘mungkin’ dan apalagi prestasi yang akan mereka capai hanya dengan mengubah mindset alias cara berpikir mereka. Kalau selama ini dikatakan bahwa ‘You can only if you think you can’ maka saya ingin mengubahnya sedikit menjadi ‘You can because you really can’. 🙏😊

Surabaya, 22 September 2018

Satria Dharma

Comments

comments