MENGGANDAKAN PEMIMPIN BESAR VERSI HOS COKROAMINOTO, MUNGKINKAH?

(Sesi MENUMU BALI = menulis dengan mulut dan membaca dengan telinga, dalam perjalanan Semarang-Bali di atas "Sayap Udara", Selasa, 4 Oktober 2016 pukul 06.00 WIB-08.45 WITA)

0
4720

Judul di atas tidak ada hubungannya dengan berita yang menghebohkan media akhir-akhir ini, yaitu tentang kehebatan seseorang yang dianggap memiliki ilmu linuwih dan bisa menggandakan uang serta perhiasan dalam jumlah berlipat lipat. Pada Sesi MENUMU BALI (menulis dengan mulut dan membaca dengan telinga) kali ini saya ingin membahas tentang duplikasi kepemimpinan.

“Jika ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan berbicaralah seperti orator”. Begitulah pesan guru bangsa kita, HOS Cokroaminoto. Beliau adalah salah satu tokoh besar bangsa Indonesia yang sampai saat ini hampir tiada tertandingi dalam kepiawaian memproduksi generasi penerus pilihan. Beliau ini seperti “mesin” penghasil para pemimpin bangsa.

Beliau sudah mbuktikan bahwa anak-anak didiknya adalah para pemimpin besar dengan ideologinya masing-masing. Dari “sekolah kebangsaan” yang dirintisnya telah banyak lahir para tokoh-tokoh pemimpin dengan berbagai aliran pemikiran, dari yang mulai nasionalis, komunis, sosialis, religius, dan cabang pemikiran lain baik itu pemikiran “tengah”, “kiri” ataupun “kanan”. Mereka misalnya Soekarno dengan paham nasionalisnya, SM Kartosuwiryo yang menghendaki negara Islam, atau Alimin, Muso dan Semaun yang marxis. Alam yang kemudian menseleksi, atas ijin Tuhan tentu saja, model kepemimpinan yang paling pas untuk Indonesia sehingga Republik Indonesia berdiri sampai saat ini.

Melalui pemikiran-pemikiran yang briliant beliau telah menanamkan ajaran-ajaran pergerakan dan perlawanan kepada penjajah Belanda dengan sukses. Sebagaimana diketahui bahwa Belanda yang bercokol di Indonesia selama berabad-abad telah mendesain sedemikian rupa sehingga pemikiran bangsa Indonesia adalah setara pelayan atau bahkan budak. Rakyat dibuat menikmati zona nyamannya sebagai pelayan setia raja dan ratu Belanda. Mereka-mereka yang setia melayanilah yang akan sejahtera. Barang siapa berani berpikir untuk bergerak atau melawan maka kesengsaraan bahkan nyawa menjadi taruhannya.

Keadaan ini tentu merisaukan HOS Cokroaminoto sehingga beliau memutuskan untuk bergerak dengan cara-cara khusus yang sukar dideteksi oleh belanda pada saat itu. Strategi beliau tampak dalam salah satu quotes yang terkenal dalam ajaran pergerakan yaitu “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.” Kelak di kemudian hari kita bisa menyaksikan sendiri bahwa ajaran tersebut ternyata efektif melahirkan manusia-manusia tangguh yang menjadi para pemimpin besar di negeri ini.

Kondisi guru-guru pada saat ini mirip sekali dengan kondisi rakyat Indonesia pada jaman penjajahan Belanda. Mungkin memang guru tidak dijajah secara fisik, tetapi secara pemikiran, para guru tampaknya terjajah dan dibuat terlena serta dininabobokan dalam sebuah alam pikiran yang disebut zona nyaman. Jadi penjajahnya adalah zona nyaman, itu kalau kita mau mencari kambing hitam. Guru dijajah oleh bagian dari pemikirannya sendiri yang bersatu dengan bagian pemikiran dari guru-guru lain yang satu gelombang dan seolah membentuk sebuah labirin yang pilin memilin tak berujung. Labirin itu menyediakan sebuah area atau zona yang nama kerennya adalah comfort zone alias zona nyaman. Zona ini sudah berurat berakar dan mendarah daging sehingga membuat penghuninya meradang kepada siapapun yang berani mengusiknya.

Kondisi ini sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun, dan akibatnya guru yang dulu dianggap profesi kaum intelektual, para pemikir, dan para cendekiawan kini dianggap sebagai profesi penebeng tunjangan profesi yang notabene adalah DANSOS. Guru juga banyak dicitrakan sebagai para pelaku tindak kekerasan pada anak dalam pendidikan. Guru yang dulu adalah para agen perubahan yang terus memelihara idealisme untuk kemajuan dan kehebatan bagsa ini ke depan, kini marwahnya terus-menerus mengalami degradasi dan cenderung terlindas oleh perubahan. Maka boleh jadi kondisi saat ini adalah kondisi paling genting terkait rendahnya kualitas dalam ranah profesionalitas guru. Jika dalam era reformasi semua berubah mereformasi diri, termasuk partai politik yang paling konservatif sekalipun, maka yang terjadi pada guru adalah sebaliknya. Terlihat sekali bahwa guru tidak berubah sama sekali. Banyak guru yang masih out of date, atau jadul, kasarnya kalau boleh dibilang.

Kondisi ini mbuat Wapres Jusuf Kalla di harian Kompas baru-baru ini curhat tentang guru sekarang yang cenderung berpikir pragmatis dan meninggalkan pemikiran idealis. Mereka lebih bahagia membicarakan dan memuntut kesejahteraan daripada meningkatkan mutu dan kompetensi diri. Guru bukan lagi sebuah profesi yang menjadi harapan banyak pihak untuk membuat perubahan dan menciptakan Indonesia ke depan yang lebih baik, yang lebih maju, apalagi mencapai jaman keemasan, karena kualitas para pelakunya dipertanyakan.
Syukurlah ada IGI yang kemudian menjadi pembeda terhadap stigma kepada guru yang diungkapkan oleh Wapres. Seandainya Wapres pernah berinteraksi dengan para guru IGI tentulah pandangannya menjadi lain sebab ternyata idealisme dalam profesi guru masih ada dan bisa diharapkan terus berkembang.

Di IGI, idealisme guru adalah idealisme para tokoh pergerakan. Boleh jadi mereka di dibenci, kejar, diburu, diasingkan atau bahkan disingkirkan oleh otoritas yang berwenang karena dianggap berani mengusik zona nyaman. Mereka dicurigai sebagai “pemberontak” dan bahkan sampai ada yang difitnah sebagai orang-orang berpaham “kiri”. Namun realitanya selama hampir sepuluh tahun perjalanannya IGI tetap exist dan justeru semakin besar. Itu membuktikan bahwa para guru yang beridealisme tokoh pergerakan itu berpotensi tinggi untuk menjadi para pemimpin. Kita berani berharap bahwa kehadiran IGI potensial bisa mengembalikan marwah profesi guru yang para pelakunya adalah para pemimpin besar sekaligus motor pergerakan sebagaimana jaman HOS Cokroaminoto dulu. Yang menjadi pemikiran adalah bagaimana menjadikan para guru ini menjadi para pemimpin besar di zamannya.

Barangkali inilah saatnya IGI melakukan duplikasi atau penggandaan para “pemimpin besarnya”. Terus terang tanpa bermaksud memuji, tulisan ini akan langsung merujuk pada salah satu “pemimpin besar” IGI yang sudah mengamalkan dengan fasih ajaran HOS Cokroaminoto. Saya tidak henti-hentinya mengagumi sosok yang satu ini. At the same time beliau mengunjungi suatu tempat di berbagai pelosok tanah air, setelah beliau berorasi secara berapi-api membakar semangat guru-guru untuk meningkatkan kompetensi, pada akhir sesi di www.ogi.or.id sudah muncul tulisan beliau tentang event tersebut yang fenomenal, motivating, dan padat berisi. Sempat terbersit dalam benak, sebenarnya mesin apa yang tertanam di tubuh sosok ini sehingga sepak terjangnya seolah melebihi manusia biasa. Beliau ini seperti humanoid. Manusia setengah robot! Tetapi itulah berkah untuk IGI yang patut disyukuri.

Adalah Muhammad Ramli Rahim atau lebih dikenal sebagai MRR, sesosok guru yang sederhana penampilannya tetapi siapa sangka ternyata MRR ini adalah pemimpin yang dahsyat. Saya kita semua IGIers mengakuinya. Begitu terpilih menjadi ketua umum bulan Januari 2016 pada Kongres II IGI di Makasar, MRR langsung tancap gas. Target utamanya adalah dalam lima tahun harus ada 1.000.0000 guru terlatih literasi produktif berbasis IT. Terlihat ambisius memang, tetapi di tangan MRR yang pintar, visioner, cekatan, strategic, dan powerful, tampaknya target itu masih terkategorikan sebagai target yang SMART (Specific, Measurable, Achievable, Realistic and Timely). Semua energi organisasi dikerahkan dalam.berbagai kegiatan dengan core lahirnya 1.000.000 guru Indonesia yang terlatih literasi produktif berbasis IT.

Saya hanya membayangkan, bagaimana seandainya IGI pada tahun ini memiliki 30 orang saja dengan features “mesin” berseri MRR-A yang kelasnya mendekati level MRR, lalu ditambah 300 orang lagi yang berseri MRR-B hasil duplikasi terhadap seri MRR-A dan seterusnya. Setiap satu pemimpin menduplikasi 10 pemimpin baru. Betapa dahsyatnya IGI. Target lima tahun itu tentu akan menjadi sangat masuk akal. Tetapi mungkinkah kita menggandakan pemimpin besar?

Mari kita runut lagi ajaran guru bangsa HOS Cokroaminoto. Kuncinya ada di Orasi dan Publikasi. Orasi harus sekelas orator, publikasi harus sekelas tulisan wartawan. Prakteknya sampai saat ini MRRlah yang paling bisa mengimplementasikannya. Mungkin atau tidak mungkin terjadinya duplikasi kepemimpinan akan tergantung pada kesungguhan kita merancang, mengimplementasikan, dan mengevaluasi program penggandaan pemimpin besar IGI.

Untuk itu pada saat TOT Literasi di Surabaya tanggal 6-9 Oktober 2016 nanti MRR juga harus didaulat jadi pemateri menulis seperti wartawan sekaligus tip dan trik berbicara seperti orator. Itu hanyalah sebagai cicip rasa. Selanjutnya IGI harus segera menyelenggarakan leadership camp dalam rangka PENGGANDAAN PEMIMPIN agar krisis kepemimpinan dalam profesi guru segera teratasi.

Bayangkan jika semua semua ketua daerah dan wilayah bisa menduplikasi ketrampilan mbaca dan menulis serta memimpin seperti MRR. Maka web IGI di pusat, di wilayah dan di daerah akan kebanjiran tulisan bernas dari seluruh kabupaten dan provinsi di Indonesia.Demikian juga pemimpin-pemimpin baru hasil penggandaan dari pemimpin yang sudah ada terlebih dahulu akan terus bermunculan.

Salam pergerakan pendidikan!

Mampuono
Sekjen IGI

Comments

comments

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini