Zonasi, Sekali Lagi

0
1036

Zonasi, Sekali Lagi
~Ahmad Faizin Karimi ~
(Trainer Menemu Baling)

Sampai saat ini, dari buku-buku pendidikan yang saya baca saya belum menemukan satu pun teori yang memasukkan Zonasi sebagai faktor kunci kualitas pendidikan. Kalau mau pendidikan nasional berkualitas ya perbaiki kualitas SDM, sistem pendidikan yang adil pada semua kecenderungan kecerdasan, dan infrastruktur. Jangan lupakan juga soal literasi kita yang masih perlu diperbaiki.

Adanya sekolah favorit itu konsekuensi dari sistem pendidikan nasional yang praktiknya timpang pada satu-dua jenis kecerdasan tertentu saja, dalam hal ini adalah kecerdasan matematis & linguistik. “Semua anak pandai, dalam bidangnya masing-masing,” itu idealisme pendidik. Tapi faktanya mereka tetap saja menerapkan “diskriminasi intelejensi”. Jadi Selagi paradigma itu nggak berubah, Zonasi nggak akan mengubah apa-apa, paling hanya menggeser “Kesenjangan yang ada antar sekolah” menjadi “kesenjangan intra sekolah”.

Seorang kepala sekolah negeri “bekas favorit” mengeluh, bahwa kemampuan akademik siswa barunya tahun ini akan ‘njomplang’. “Guru akan kesulitan mengajar anak yang daya serapnya berbeda jauh,” katanya. Jika anak dengan daya serap cepat dan lambat disatukan, maka akan terjadi perlambatan pembelajaran. Sebaliknya, jika dipisah beda kelas, maka kesenjangan intra sekolah akan muncul.

Saya menolak zonasi? Nggak juga. Zonasi punya sisi positif, misalnya mengurangi jarak tempuh yang pada akhirnya mengurangi polusi akibat berkurangnya penggunaan kendaraan. Sebagai orang yang sensitif pada isu lingkungan, ini saya sukai.

Saya cuma menempatkan isu zonasi bukan sebagai isu sentral pendidikan kita. Zonasi itu soal remeh. Kalau mau menghilangkan kesenjangan favorit-nonfavorit, lakukan standarisasi ketat pada kualifikasi guru dan buat tiap sekolah memiliki akses plus fasilitas setara. Otomatis orang memilih sekolah yang paling dekat rumahnya.

Beberapa pengaturan zonasi saya rasa juga konyol. Misalnya soal pembobotan jarak, kalau sudah ditentukan luasan area zona ya gak usah dibandingkan jaraknya. Asal masuk zona, ya bobotnya sama. Memangnya pemerintah dulu membangun sekolah negeri mempertimbangkan sebaran geografis? Kan tidak! Di beberapa daerah, sekolah itu dibangun di kawasan pendidikan. Piye Iki?

Lalu soal dampak pada sekolah swasta. Karena sejak awal pembangunan sekolah tidak memperhatikan sebaran geografis, ada sekolah swasta yang “ketiban durian runtuh” dapat limpahan siswa banyak, tapi ada yang “ketiban sial” kekurangan siswa akibat banyak sekolah negeri yang dekat-dekat area sekolahnya. Sekolah swasta ‘biasa-biasa’ itu cenderung nggak punya tradisi akademik baik, jadinya nanti masyarakat (baca: siswa) yang akan dirugikan.

Masih banyak problem turunan dari kebijakan zonasi ini. Secara sederhana saya katakan: “Zonasi itu baik secara filosofis, tapi semerawut secara teknis”.

Comments

comments