SISTEM ZONASI MASIH PERLUKAH?

0
1567

SISTEM ZONASI MASIH PERLUKAH?
Oleh: Mampuono

Terbitnya Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 yang mengatur tentang PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) untuk tahun ajaran 2019/2020 masih saja menimbulkan pro dan kontra. Permendikbud yang diklaim sebagai penyempurnaan aturan sebelumnya dan hasil evaluasi PPDB tahun lalu ini mensyaratkan PPDB dilaksanakan melalui tiga jalur. Jalur tersebut meliputi sistem zonasi, prestasi, dan pindahan. Komposisi kuota masing-masing jalur adalah 90% untuk sistem zonasi, 5% untuk jalur prestasi dan 5% untuk jalur pindahan.

Mendikbud Muhadjir Effendy menegaskan bahwa PPDB tahun ini adalah bentuk peneguhan dan penyempurnaan dari sistem zonasi yang sudah dikembangkan tahun sebelumnya. Zonasi pendidikan ini dimaksudkan untuk percepatan pemerataan akses dan kualitas pendidikan nasional.

Bahkan agar pemerintah daerah dapat menyiapkan petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksanaan (juklak) dengan lebih baik regulasi PPDB untuk tahun ajaran 2019/2020 ini terbit lima bulan sebelum pelaksanaan PPDB. Mendikbud Muhadjir Effendy berharap ini bisa mengantisipasi lebih awal potensi permasalahan yang muncul pada PPDB tahun ini.

Tidak hanya itu, sistem zonasi untuk PPDB ini nantinya juga akan diikuti dengan rotasi terhadap para guru. Mereka akan didistribusikan ke sekolah-sekolah yang berbeda di dalam zonanya masing-masing. Dengan demikian setiap sekolah akan memiliki guru-guru yang kompetensinya berimbang antara satu dengan yang lain. Demikian juga proporsi guru yang sudah menjadi ASN dan yang masih honorer juga menjadi lebih berimbang di setiap sekolah.

Namun begitu sampai tahun kedua penerapan sistem zonasi untuk PPDB ini rupanya masih saja menuai banyak kontroversi. Keluhan masih saja datang dari orangtua, guru, peserta didik, maupun anggota masyarakat yang rupanya tidak puas dengan penerapan sistem tersebut.

Bahkan baru-baru ini Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sampai harus menelepon Mendikbud terkait masalah ini. Ganjar meminta supaya prosentase jalur prestasi dinaikkan dari 5% menjadi 20%. Ini karena banyaknya keluhan dari masyarakat yang diadukan kepadanya. Pak Gubernur berusaha berempati kepada mereka yang merasa dirugikan oleh sistem zonasi meskipun sepertinya tidak sejalan dengan semangat Pak Menteri untuk meniadakan sekolah-sekolah favorit dan menggantinya dengan sekolah-sekolah yang setara satu dengan yang lain.

Sebagian orang tua siswa yang merasa dirugikan dengan sistem ini mengatakan bahwa putra-putri mereka telah menjadi “korban” sistem zonasi. Bagaimana tidak, setelah sekian tahun menempuh pendidikan dengan bersungguh-sungguh dengan harapan suatu saat bisa mendapatkan sekolah favorit, ternyata dengan adanya sistem zonasi tersebut harapan mereka kandas di tengah jalan.

Keluhan tidak hanya dilontarkan oleh orang tua siswa. Sebagian guru yang mengajar di sekolah favorit juga merasa menjadi “korban”. Mereka yang selama ini mengajar anak-anak terbaik kini harus bekerja keras menghadapi anak-anak yang kompetensinya dianggap “tidak jelas”. Sebelumnya untuk masuk ke sekolah favorit tersebut, ada saringan ketat untuk para calon siswa, jadi input siswanya tersaring dengan bagus. Dengan adanya sistem zonasi mereka terpaksa harus menerima takdir mengajar anak-anak dengan kompetensi rendah.

Kompetensi rendah yang dimaksud bukan hanya pada ranah pengetahuan dan keterampilan saja, tetapi juga pada ranah sikap. Jika sebelum masa zonasi diberlakukan para guru sekolah favorit ini biasa mengajar anak-anak yang pintar, terampil, dan juga karaktetnya bagus. Dengan adanya sistem zonasi ini mereka terpaksa harus mengajar juga anak-anak yang tidak pintar, tidak terampil, dan bahkan adab sopan santunnya rendah.

Yang lebih menggemaskan lagi anak-anak dengan kompetensi rendah tersebut kebanyakan berasal dari keluarga tidak mampu yang kecenderungannya tidak memiliki budaya belajar yang baik, tidak percaya diri, serta motivasi yang rendah untuk meraih sukses.

Jika guru-guru sekolah favorit komplain karena adanya zonasi guru-guru sekolah pinggiran justru diam-diam bersyukur. Mereka mulai bangkit dan menggeliat ingin segera menyamakan level sekolah mereka dengan sekolah-sekolah favorit karena sudah mendapatkan fairness atau kesetaraan dalam bahan baku yang berupa input para siswa yang berimbang kompetensinya dengan input sekolah favorit.

Demikian juga orang tua yang selama ini was-was Apakah anaknya bisa diterima di sekolah favorit atau tidak karena kompetensi yang dimiliki agak terbatas mereka bisa lebih lega. Sistem zonasi membantu mereka untuk memasukkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah favorit yang selama ini dianggap tidak terjangkau oleh kompetensi anak-anak tersebut.

Khusus di kota besar adanya sistem zonasi juga membantu mengurai potensi kemacetan lalu lintas. Jika selama ini para siswa harus menjelajahi kota untuk sampai ke sekolah-sekolah favorit mereka yang jaraknya jauh dari rumah tinggal mereka, sekarang tidak lagi. Sistem zonasi memberi kesempatan kepada mereka untuk memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah terdekat.

Selain itu sistem zonasi juga bertujuan menghilangkan eksklusivitas dan diskriminasi di sekolah, khususnya sekolah negeri, dan mendorong kreativitas pendidik dalam pembelajaran dengan kondisi siswa yang heterogen. Bagi pemerintah daerah, sistem zonasi dapat membantu pemda dalam memberikan bantuan/afirmasi agar lebih tepat sasaran, baik berupa sarana dan prasarana sekolah maupun peningkatan kualitas pendidik

Pendeknya, sistem zonasi memiliki tujuan mulia untuk menjadikan anak-anak Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan akses pendidikan secara merata. Pada saat yang sama sekolah-sekolah juga sedang terus berbenah, bergerak menuju ke arah lebih baik untuk memenuhi 8 Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang meliputi standar sarana prasarana, pembiayaan, pengelolaan, pendidik dan tenaga kependidikan, isi, proses, penilaian, dan kelulusan.

Khusus di Jawa Tengah, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Tengah sebagai unit pelaksana teknis Kemdikbud sedang terus-menerus memberikan dukungan penjaminan mutu agar pencapaian 8 SNP ini dapat dicapai oleh setiap sekolah. Jika standar-standar ini nantinya terpenuhi maka seharusnya para siswa akan mendapatkan perlakuan yang kurang lebih sama dan terstandar dianapun mereka bersekolah.

Dari sini dapat dipahami bahwa kondisi pro dan kontra yang terjadi di kalangan masyarakat pada setiap menjelang penerimaan siswa baru adalah sesuatu yang wajar. Masyarakat memang perlu mendapatkan penjelasan lebih tentang esensi dari pelaksanaan sistem zonasi di dalam PPDB. Jika sistem zonasi ini berhasil dan didukung oleh pemenuhan 8 SNP di semua satuan pendidikan justru masyarakat yang memakai jasa pendidikan yang diberikan oleh pemerintah lah yang mendapatkan untung. Maka tidak akan ada lagi sekolah favorit dan tidak favorit. Ini karena semua sekolah memiliki kualitas yang kurang lebih sama di seluruh wilayah Indonesia. Harapannya tentu muara akhir dari seluruh proses pendidikan kita, yaitu standar kelulusan, akan berimbang kualitasnya antara sekolah satu dengan yang lain. Jadi, jika ditanya sistem zonasi masih perlukah? Jawabannya sudah pasti, perlu.

Note:
Penulis adalah Sekretaris Jenderal Ikatan Guru Indonesia (IGI).

___________________________
Semarang 14 Juni 2019. Ditulis dengan metode Menemu Baling, menulis dengan mulut dan membaca dengan telinga.

Comments

comments