Guru dan Profesional dalam Menulis

0
1665

Guru dan Profesional dalam Menulis
Muklis Puna

Sepulang kerja siang tadi, penulis menghadiri undangan teman-teman Ikatan Guru Indonesia ( IGI) pada kegiatan literasi Sagu-Saku dan Sagu Sata. Tentunya penulis hadir sebagai peserta, karena penulis masih independen dalam organisasi yang menaungi para penjaja ilmu pengetahuan dalam kegiatan literasi tingkat guru SMA Kabupaten Aceh dan kota Lhokseumawe. Mula-mula penulis merasa ragu akan keberadaanya di sana. Demi ilmu dan sahabat serta para penyaji yang hebat dibandingkankan penulis.Bukanlah hal yang mengganjal bagi penulis untuk ilmu pengetahuan dalam kepenulisan.

Langkah kaki megarah mengikuti kata hati, mata menatap tajam pada daun pintu yang membeku. Dari luar sayup- sayup terdengar ocehan penyaji dan peserta sedang bercanda dalam riang tentang hal dan tata cara menulis, mulai dari bagaimana cara mulai menulis sampai pada tahap penerbitan buku untuk guru yang ber-ISBN. Perlahan penulis membuka tirai papan yang membentengi pandangan seraya merangsek masuk,lalu mengambil posisi paling belakang.

Kiranya dua paragraf deskripsi di atas, sudah mewakilkan suasana bagaimana antusiasnya guru- guru di daerah dalam menulis. Pertanyaan besar yang selalu mengganggu pikiran penulis adalah ” Mengapa hal ini baru dua tahun terakhir muncul dalam dunia pendidikan Indonesia hari ini? Padahal Indonesia sudah merdeka 73 Tahun jika dihitung tahun ini. Bukankah guru di negeri ini dituntut harus tampil perfect dan profesional di depan peserta didik? Sebenarnya masih banyak masalah yang berkutat keika kata ” Guru” digaungkan.

Melihat antusiasme para guru dalam menulis , penulis mulai tertarik dengan organisasi Ikatan Guru Indonesia ( IGI) walaupun penulis masih awam dengan AD dan ART organisasi tersebut. Sebenarnya ada satu organisasi yang sudah membumi dalam paguyuban guru yaitu PGRI. Organisasi ini sudah tua dan akar akar nya sudah menjalar ke seluruh pelosok Nusantara . Akan tetapi paguyuban tersebut belum mampu mengayomi guru secara maksimal. Bukan berarti penulis menjustifikasi organisasi tersebut. Mari berpikir positif mungkin organisasi PGRI belum berpikir atau mengambil terobosan baru terhadap hal kepenulisan bagi guru seluruh Indonesia.

Berkaitan dengan organisasi paguyuban guru dijelaskan dalam undan-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen dalam pasal 41 dijelaskan bahwa guru membentuk orghanisasi profesi yang brsifat independent dan berfungsi untuk memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, karier, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteraan dan pengabdian kepada masyarakat. Dalam pasal ini dijelaskan juga bahwa guru wajib menjadi anggota organisasi profesi. Untuk membuktikan apakah uraian di atas sudah terealisasi dengan baik indikatornya mudah sekali untuk dicerna. Pertanyaan pemandu untuk keluar dari masalah tersebut adalah bagaimana korelasi yang terjadi antara guru dan organisasi paguyubannya hari ini?

Sekali lagi penulis mohon maaf. Tidak mungkin rasanya penulis mengusung filosofi belah bambu untuk membandingkan antara IGI dengan PGRI. Filosofi menginjak yang bawah dan mengangkat yang atas. Bukan juga penulis ingin menaikkan IGI yang memang lagi naik daun dalam dunia pendidikan Indonesia hari ini. Buktinya organisasi yang baru seumur jagung ini sudah mampu melahirkan penulis- penulis buku yang umumnya berbasis buku pelajaran. Ini sebuah kebanggaan dalam mengangkat harkat dan martabat guru Indonesia secara kolektif.

Selanjutnya, mengulas dunia pendidikan hari ini adalah mengulas guru secara implisit dan komprehensif. Sumber daya manusia yang merupakan titipan pemerintah ada di pundak guru. Mengapa demikian ? Karena guru secara harfiah adalah bidan- bidan yang membantu lahirnya janin sumber daya manusia yang punya integritas sesuai cita cita pendidikan Namun hari ini, fakta tetap belum bersepakat untuk memihak pada guru dan lembaga penjamin mutu pendidikan ( LMMP)

Menurut laporan PISA 2015 program yang mengurutkan kualitas sistem pendidikan di 72 negara, Indonesia menduduki peringkat 62. Dua tahun sebelumnya (PISA 2013), Indonesia menduduki peringkat kedua dari bawah 71. https://www.youthcorpsindonesia.org/l/peringkat-pendidikan-indonesia-di-dunia/.Data ini terus digelindingkan bagai bola salju yang menggulung profesi guru yang selalu dianggap tidak proporsional dan profesional. Kalau dirunut lebih jauh dalam konsep dasar pendidikan Indonesia, guru itu adalah salah satu media dalam pembelajaran, bukan satu satunya. Selanjutnya guru juga merupakan bagian dari sistem pendidikan yang terpisah dari sistem itu sendiri. Sistem pendidikan yang belum mendapatkan wujud sebenar -benarnya dalam konsep pendidikan, maka gurulah yang disasar dan dijadikan komoditi politik musiman.

Selain sistem pendidikan yang masih diadopsi dari negara lain notabene berbeda budaya, pola pikir dan karakter. Biaya pendidikan di negeri ini juga masih berada pada tahapan standard dibandingkan dengan dengan negara- negara lain di dunia. Di negeri yang begitu kaya dengan sumber alam dan keindahan alam yang dikenal dengan tanah surga, hanya mengalokasikan dana 20 persen dari APBN yang ada. Seingat penulis itu sudah termasuk semua cos yang dibutuhkankan dalam pendidikan. Bandingkan dengan negara negara lain ada yang mengalokasikan sebesar 50 persen APBN untuk pendidikan. Suatu ketika Iu menteri keuangan iseng mencubit para guru seluruh Indonesia dengan statemen”sertifikasi guru tidak berbanding lurus dengan kualitas yang ada. Sertifikasi hanya dilakukan demi mendapatkan tunjangan guru yang lebih tinggi.”https://m.detik.com/finance/berita-ekonomi-bisnis/d-4107894/sri-mulyani. Sontak saja cubitan Ibu menteri merebak di kalangan guru dan ditanggapi secara beragam.

Sejawat penulis, pernah berkomentar dalam diskusi kecil berkaitan dengan pernyataan Ibu menteri. “Bahwa apakah Ibu menteri itu bisa jadi menteri itu tanpa bantuan guru? ” Atau mungkin dia ketika dilahirkan sudah bawa jabatan menteri?. Ingat lho waktu dia sekolah, guru belum ada sertifikasi. Nah lho…guru belum bersertifikasi saja mampu ngajarin orang jadi menteri. Apalagi dewasa ini yang penuh dengan teknologi yang begitu canggih dan menjamur.Lalu sang sejawat menyela mungkin Ibu menteri lupa bahwa sertifikasi guru itu belum ada apa- apanya dibandingkan biaya reses Anggota Dewan seluruh Indonesia dalam satu tahun yang kebanyakan tidur menyusun mimpi di ruang- ruang ber-Ac, jika merujuk pada produk undang- undang yang dihasilkan.

Sejak guru diakui sebagai guru profesional adalah ketika pemberian sertifikasi guru yang diatur dalam UU 2005. Semua pegawai Negeri Sipil (PNS) lainya meradang melancarkan protes. Akhirnya pemerintah menjawab dengan pemberian Tunjangan Kinerja ( Tukin) untuk PNS yang punya jabatan struktural. Para guru tetap diam dan tekun menjalankan tugas sebagai pendidik,bagi mereka yang sudah masuk dalam lingkungan pendidikan mengajar, mendidik dan melatih adalah ladang amal yang disemai setiap hari dan keyakinanlah yang akan memetik hasil panen di hari akhirat nantinya.

Kembali ke pokok judul dari esai yang meliuk-liuk melewati halaman per halaman bahwa tuntutan guru yang profesional adalah harga mati. Profesional itu tidak didapatkan ketika guru bercanda dengan materi kuliah. Pengalaman tidak pernah ada di toko buku dan perpustakaan. Profesional merupakan hasil pelatihan yang sistematis dalam frekuensi yang begitu ketat dan menghasilkan produk nyata dalam dunia pendidikan. Hanya dengan menulis dan terus menulis para guru mampu mengembangkan karier dan bakatnya hingga menemukan jati diri sebenarnya
benarnya.

Kepada organisasi Ikatan Guru Indonesia ( IGI) teruslah menyemai bibit menulis dalam sanubari guru seluruh Indonesia hingga para peserta didik dapat menikmati sajian sajian pengetahuan di atas mejanya adalah produk gurunya sendiri. Demikian

Muklis Puna.

Comments

comments