PPPK Semacam Permen Manis Atau Kembang Gula

0
1044

Tahapan Rekruitmen PPPK sudah mulai digulirkan, tak banyak harapan disana, apalagi harapan akan tuntasnya masalah pendidikan di Indonesia. PPPK hanya sebuah terapi kejut agar pemerintahan ini tak bulan-bulanan diserang honorer tapi sama sekali tak punya niat menuntaskan masalah pendidikan di Indonesia. Pemilu 2019 memang membutuhkan hal itu.

Entahlah, apakah memang tidak niat menutaskan atau memang tidak tahu bagaimana menuntaskannya. PPPPK ini bagi saya hanya sebuah permen manis atau kembang gula dunia pendidikan, tak cukup mengenyangkan tak pula menghilangkan dahaga.

Sebaiknya pemerintah berhenti memandang pendidikan bukan dalam sudut pandang pendidikan.

Kebutuhan guru dipandang dari sisi honorer, beban belajar siswa dipandang dari keharusan apa yang harus diketahui pelajar, Pengadaan fasilitas dipandang dari pilot project, sebarang guru dipandang dari sisi keunggulan sekolah, bahkan prestasi siswa dihitung dari sisi peringkat dari nilai total. Semua cara pandang ini tak akan pernah menuntaskan masalah pendidikan Indonesia.

Seharusnya menurut hemat kami, pendidikan harus dipandang dari sudut pandang pendidikan, jangan dipandang dari sisi ormas apalagi dari sisi politik. Begitu beratnya masalah pendidikan ini maka jika perlu, gunakan kacamata kuda untuk menuntaskannya.

Presiden tak tahu kalau ada guru di Indonesia yang pendapatannya ratusan ribu sebulan. Ini ketidaktahuan yang menhancurkan hati honorer yang saat ini menjadi tulang punggung pendidikan kita. Bukan sekedar melukai tapi menghancurkan. Bukan cuma ratusan ribu Pak Presiden tetapi dibanyak tempat di Indonesia ini pendapatan guru bahkan dibawah Rp. 100.000,-

Perbandingan guru dan murid yang mencapai 1 : 16 jika mengacu dapodik, kadang menjadi kebanggan Indonesia, sekali lagi, itu hanya melukai hati guru. Tahukan mereka bahwa banyak guru PNS di Indonesia ini yang mengajar hanya 24 jam @40 menit atau @45 menit per bulan, dengan pendapatan penuh 1 bulan sebagai PNS, sementara ada guru honorer yang ngajar 24 jam per minggu atau 100 jam perbulan dibayar hanya 600ribuan sebulan itupun diterimanya 3-6 bulan sekali. Perbandingan guru dan murid itu menarik tapi sungguh tak banyak gunanya buat dunia pendidikan kita karena disana banyak yang tak efektif dan juga tidak efisien. Jika kejadiannya demikian, maka ada yang salah dalam pendidikan kita.

Kemendikbud terus menerus menggelontorkan dana untuk peningkatan kompetensi guru tapi tak banyak melakukan assesment sejauh mana pelatihan itu bermanfaat buat siswa, artinya tak ada ukuran pengaruh serapan anggaran terhadap perubahan pola pengajaran guru-guru kita di ruang-ruang kelas secara menyeluruh sehingga berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan siswa. Anggaran besar digelontorkan untuk beasiswa, diklat, lomba dan publikasi tapi tak memikirkan bagaimana jika anggaran itu digeser untuk memberikan kesejahteraan kepada guru yang pendapatannya jauh dibawah UMR. Menurut hemat kami pemerintah terlalu menikmati mempekerjakan guru dengan upah yang begitu rendah.

Aturan dan kurikulum yang terus menerus berubah meski dengan nama yang sama sering kali menjadi alasan untuk bimtek, anggaran pun ditarik menjadi anggaran bimtek sehingga anggara pendidikan yang begitu besar lagi-lagi tak bisa mengubah pendapatan guru yang puluhan ribu itu menjadi lebih baik.

Kembali ke PPPK, apa yang guru bisa harapkan dari PPPK??

Honorer tak perlu bergembira karena hanya 150.669 guru honorer yang dapat mengikuti kontestasi PPPK. Hanya mereka yang K2 yang boleh mengikutinya. Jumlah tersebut merupakan akumulasi dari 69.533 guru honorer K2 yang memenuhi kualifikasi S1 dan usia di atas 35 tahun. Kemudian ditambah dengan 74.794 guru honorer K2 tua yang tidak memenuhi kualifikasi S1. Juga guru honorer K2 yang tidak lulus CPNS sebanyak 6.541 orang. Apakah ini menjadi solusi pendidikan??

Jauh panggang dari api, ini hanya solusi honorer K2 saja, sementara total honorer seluruh Indonesia yang sebagian besar honor perbulan mereka satu juta rupiah ke bawah tak tersentuh sama sekali. Guru Non PNS di sekolah negeri itu mencapai 735.825 guru. Ini guru yang terdata, belum termasuk guru yang dipekerjakan di sekolah karena kebutuhan tetapi tak terdaftar sebagai honorer apalagi PNS. Jika demikian, pemerintah masih nyaman mempekerjakan manusia sebagai guru dengan pendapatan jauh dibawah UMR yang ditetapan oleh pemerintah sendiri. Masih begitu banyak guru yang karena semangat pengabdian rela dibayar murah jauh lebih murah dari buruh bangunan. Jika tak mampu mempekerjakan dan memberi pendapatan yang layak, lebih baik mereka tak dilibatkan dalam pendidikan, karena hal tersebut hanya menempatkan guru pada tempat yang tidak terhormat bahkan hal tersebut justru menempatkan guru pada posisi terlecehkan.

Seharusnya pemerintah fokus pada pendidikan, bukan fokus pada honorernya karena honorer bisa tumbuh puluhan kali lipat dalam rentang waktu yang pendek. Jadi fokus masalahnya bukan pada honorer tetapi pada pendidikannya. Pemerintah harusnya membangun sistem dimana guru itu efektif, semua guru mendapat porsi mengajar yang hampir merata, mengapa tidak guru mengajar 40 jam seminggu, namun dengan kesejahteraan yang cukup dan kehormatan terjaga.

Lanjut lagi ke PPPK, cerita PPPK yang hanya bisa mengakomodiri 20% honorer di sekolah negeri dikurangi honorer K2 yang saat ini mengabdi di sekolah swasta ini pun berpotensi semakin kecil yang direkrut karena masih ada kewajiban kepada 74.794 guru honorer K2 tua yang tidak memenuhi kualifikasi S1 untuk menutaskan kuliah S1nya. Sementara itu, ada 6.541 guru yang usianya dibawah 35 tahuh yang sudah terbukti gagal dalam seleksi CPNS 2018 lalu dan diberikan kesempatan kedua. Dalam pengumuman tahapan PPPK belum dibahas soal kewajiban sertifikasi bagi PPPK yang lagi-lagi hampir pasti menjadi penghalang guru honorer K2 untuk menjadi PPPK.

Disisi lain, PPPK ini membebankan ke daerah untuk membayar gaji mereka yang lulus PPPK dimana 100 persen guru berada di daerah dan akan membuat pemerintah daerah mules karena beban APBD yang semakin berat. Ini sangat berbeda dengan wacana gaji PPPK yang dibebankan ke APBN.

Jika demikian, PPPK ini hanya menjadi kembang gula atau semacam permen manis buat pendidikan kita, tak mengenyangkan dan tak pula menghapus dahaga, jauh dari solusi dan tetap menempatkan guru sebagai manusia berpendapatan rendah dengan status kontrak tahunan dimana angin pilkada bisa memporak-porandakan harapan mereka karena tidak berpihak kepada pemenang.

Jakarta, 6 Februari 2019
Muhammad Ramli Rahim
Ketua Umum Pengurus Pusat
Ikatan Guru Indonesia

Comments

comments