Ketika memimpin IGI Sulsel 2009 lalu, saya berkeliling 24 Kabupaten/kota di Sulsel, kebetulan saat itu hanya Sulsel, Provinsi yang kepengurusan IGInya lengkap di seluruh kabupaten/kotanya.
Saat itu kami tak punya uang, hanya semangat yang membuat kami bergerak. Saat itu, jangankan sumbangan PP IGI atau bantuan dari Sponsor, untuk menghadirkan tokoh hebat pun kami harus menarik dana perusahaan.
Dalam setiap langkah, kami selalu memaparkan masalah bangsa saat itu. Salah satunya adalah GURU PLAGIATOR. Guru-guru kita terlalu banyak yang tertangkap basah menggunakan karya orang lain bahkan untuk karya tulis ilmiah, guru-guru kita saat itu harus menyewa atau membayar “pembuat karya tulis ilmiah†agar dapat naik pangkat.
Jangankan bermimpi menghasilkan buku, RPP saja “copy paste†itupun jauh dari sempurna: RPPnya ke kanan, ngajarnya ke kiri. Jangankan menghasilkan karya “Buku”, Karya Tulis Ilmiah pun membayar orang.
Alhamdulillah setahun setelah saya menjabat sebagai KETUM IGI Pusat, Sagusaku di Inisiasi di Surabaya oleh dua guru hebat temuan IGI, Slamet Riyanto dari Gunung Kidul yang sudah menulis ratusan buku dan Joko Wahyono, guru penulis buku best seller asal Samarinda.
Sagusaku menemukan bentuknya dan terbang tinggi ketika Nurbadriyah, Ketua IGI Cilegon diberi tanggung jawab menanganinya.
Selain Slamet Riyanto dan Joko Wahyono ada satu pelatih awal IGI yang turut berperan besar, Edi Sutarto yang saat itu menjabat Ketua IGI Wilayah Sulsel.
Di tangan Nurbadriyah dan kawan-kawan, Sagusaku kini telah melahirkan ribuan buku dengan ribuan guru penulis, sebuah capaian yang spektakuler “dari Guru Plagiator KTI menjadi Guru Penulis Buku”. Alhamdulillah, selamat buat tim Sagusaku yang turut berperan besar meliterasikan Indonesia, Indonesia kini telah BERUBAH. Pencapaian terbitan buku di Perpusnas meningkat cepat. Melalui Sagusaku IGI, kini guru mampu berrevolusi dan Berani hasilkan karya mandiri.
Jakarta, 28 Januari 2019
#MRR, Ketum IGI#