​REVOLUSI MENTAL: JANGAN TANYA APA YANG KAU DAPAT DARI NEGERIMU

0
2596

Hari ini, Jumat 16 September 2016 saya sebagai sekjen dan pak Abdul Karim sebagai kabid peningkatan mutu guru IGI  diundang di event pameran internasional GESS (Global Educational Supply and Solution) di Jakarta Convention Centre (JCC). Pada acara pertama yang berlangsung dari jam 09.00 pagi sampai jam 16.00 sore saya menjadi panelis dalam diskusi kelompok terpumpun yang diselenggarakan oleh Badan Musyawaratan Perguruan Swasta (BMPS). Sayangnya belum sampai selesai saya kemudian saya harus meminta ijin pada jam 15.00 untuk mengisi seminar bertajuk Revolusi Pembuatan MPI dengan Framework yang diselenggarakan oleh GESS di ruang yang berbeda. Saya bergantian dengan pak Karim yang mengisi seminar tentang komik pembelajaran pada sesi sebelumnya.

Acara Diskusi Kelompok Terpumpun atau forum group discussion (FGD) yang berlangsung di ruang Merak JCC itu dihadiri sembilan panelis dan dimoderatori oleh Indra Kharismiaji, seorang tokoh muda yg digelari sebagai 21st Century learning expert. Kesembilan panelis berasal dari berbagai kalangan seperti IGI,  PGRI, ANPS, Asosiasi Sekolah Katolik, Muhammadiyah, Carnegie Melon University USA,  dll.  Acara dihadiri oleh 200 audiens lebih. Mereka berasal dari betbagai kalangan seperti DPR, Kemendikbud, Pemda, yayasan pendidikan  swasta, dan  kalangan pengusaha. Sebagian audiens merepakan  peserta yang  berasal dari berbagai negara lain seperti USA, Singapore, Philipine, Malaysia, dan lain-lain.

Tema  FGD kali ini adalah tentang bagaimana Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) mengawal Nawacita untuk mencapai pendidikan Indonesia yang lebih baik. Sebagaimana diketahui  BMPS  merupakan asosiasi yayasan-yayasan pendidikan swasta yang memiliki anggota  yang jumlahnya banyak sekali di seluruh Indonesia, Akan tetapi ternyata selama ini mereka merasa terpinggirkan dan dianaktirikan oleh pemerintah. Mengapa demikian? Karena dana pendidikan lebih banyak digelontorkan kepada sekolah-sekolah negeri daripada sekolah-sekolah swasta. Karenanya  mereka mengadakan acara FGD tentang mengawal Nawacita  untuk mencari solusi terhadap permasalahan tersebut.

Berbicara tentang Nawacita tidaklah ngeh rasanya kalau kita tidak memulainya dari definisi Nawacita itu sendiri. Nawacita berasal dari bahasa Sansekerta yaitu nawa yang berarti sembilan dan cita yang berarti impian atau cita cita.  Dari sembilan cita-cita itu yang paling  disoroti dalam FGD  kali ini adalah cita-cita nomor 5, yaitu meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia melalui pelatihan dan perwujudan program “Indonesia Pintar” dan cita-cita nomor 8 tentang “Revolusi Mental”.  Pada kesempatan tersebut perwakilan dari Kemendikbud yang merupakan staf dari Dirjen Dikdasmen menyatakan bahwa selama ini yang menjadi persoalan adalah politik anggaran.  Sebenarnya pemerintah sudah berusaha untuk menyeimbangkan antara sekolah-sekolah yang negeri dengan swasta dari sisi anggaran tetapi pada realitanya yang terjadi di lapangan adalah banyaknya kendala  yang muncul seperti ketidak profesionalan sekolah-sekolah swasta di dalam mengakses dana sehingga kemudian muncul keputusan pemerintah untuk menghentikannya.

Di samping permasalahan anggaran yang tidak seimbang,  BMPS melalui ketuanya  juga curhat tentang posisi sekolah di Indonesia yang terpilah menjadi tiga golongan yang lebih mirip kasta. Golongan  pertama adalah sekolah swasta yang sangat berkualitas dan bonafid serta inputnya adalah para siswa yang memang benar-benar tidak ingin masuk sekolah negeri. Mereka sejak awal memang merencanakan untuk masuk sekolah swasta  tersebut. Kelompok ini tidak lebih dari 100 sekolah di seluruh Indonesia tetapi kredibilitasnya tidak diragukan lagi karena muridnya berasal dari golongan “borju” yang ibaratnya membayar fasilitas apapun mereka mampu. Asosiasinya adalah ANPS (Association of National and Private Schools).
Kelompok  kedua adalah sekolah negeri di mana para siswanya memang mendaftarkan diri dan berkompetisi untuk bisa memasuki sekolah tersebut.  Di kelompok ini  mereka digratiskan terutama dengan program wajib belajar 9 tahun. Bahkan di sebagian daerah  ada yang membebaskan biaya sekolah sampai SMA dan SMK. Kondisi ini yang  kemudian banyak dipolitisir oleh para pimpinan daerah yang ingin mendapatkan simpati dari warganya terkait dengan Pilkada yang akan mereka ikuti.

Yang  terakhir adalah kelompok sekolah-sekolah swasta golongan menengah sampai pinggiran  yang mutu dan bonafiditasnya sebagian masih dipertanyakan. Input kelompok ini biasanya adalah residu dari anak-anak yang diterima di sekolah negeri. Sekolah-sekolah golongan inilah yang kemudian berasosiasi di dalam BMPS. Orang BMPS menyebut kelompok ini sebagai sekolah-sekolah yang  inputnya kebanyakan adalah anak-anak yang “bodoh dan miskin” yang ini kemudian menjadi beban berat bagi mereka.  Sudah inputnya kurang bagus,  fasilitas sekolah juga kurang memadai, kualitas gurunya sebagian masih di level bawah,   tidak disupport sepenuhnya pula  oleh pemerintah, curhat mereka. Ini dikhawatirkan akan menjadi  masalah besar yang menghambat tercapainya Nawacita, tambah mereka.

Mencermati kondisi tersebut tampaknya guru-guru di sekolah level ketiga ini juga secara kualitas  dan kesejahteraan masih sangat perlu mendapat perhatian khusus. Sebagian dari mereka  terpaksa hidup dengan gaji yang pas-pasan. Beruntung jika mereka sudah mendapat tunjangan sertifikasi. Jika tidak, mereka harus setiap bulan menerima gaji yang jauh dari UMR dan terlilit hutang.  Berbeda dengan sekolah-sekolah negeri,  guru-gurunya bisa mendapatkan gaji yang jauh lebih besar dari gaji mereka. Contohnya di Jakarta,  gaji guru sekolah negeri ternyata setara dengan gaji  guru ekspatriat  yang mengajar di sekolah-sekolah swasta internasional. Sama dan sebangun kualitasnya tetapi berbeda jauh penghasilannya.

Setelah diskusi berjalan kurang lebih 45-menit dan sudah dua panelis dari sembilan panelis berbicara yang isinya lebih banyak curhat, saya meminta waktu untuk share pendapat kepada Mas Indra Karismiaji selaku moderator. Dalam kesempatan tersebut saya mengajak hadirin untuk kembali kepada tujuan awal diadakannya diskusi kelompok terpumpun tersebut, yaitu bagaimana BMPS mengawal nawacita untuk sampai pada tujuannya. Saya memulainya dengan menterjemahkan nawacita yang kelima dan kedelapan di dalam bahasa Inggris karena salah satu panelis adalah orang Amerika yaitu Jason yang merupakan  utusan dari Carnegie Mellon University. Dia  akan berbicara tentang pembelajaran abad 21 untuk mendukung terwujudnya nawacita. Jadi saya pikir dia juga harus tahu apa nawacita itu . 
Pada poin berikutnya saya mengajak para hadirin untuk mengingat apa yang sudah dicurhatkan oleh Wapres di harian Kompas beberapa waktu yang lalu. Beliau mengatakan bahwa guru sekarang lebih bermental pragmatis dalam mengemban profesinya. Seakan tidak ada lagi idealisme dalam benak mereka sebagai pendidik. Mereka baru bahagia ketiga yang dibicarakan adalah kesejahteraan, sedangkan jika yang dibicarakan adalah mutu atau kualitas dan profesionalisme mereka acuh tak acuh.  Oleh karenanya saya sempatkan untuk  mengajak guru kembali ke khitthah bahwa profesi guru identik dengan idealisme untuk menjadikan bangsa ini sebagai bangsa besar yang cakap, beradap, dan bermartabat.

Kemudian saya mengingatkan bahwa dalam nawacita kelima disebutkan adanya perbaikan pendidikan melalui pelatihan. Ini sangat inline dengan visi misi kita,  maka saya menawarkan berbagai program pelatihan melalui Ikatan Guru Indonesia kepada mereka.  Kawan-kawan guru swasta  kita ajak  untuk bersama-sama menempa diri, sehingga bisa keluar dari kerumunan guru biasa saja dan menjadi guru guru hebat yang berkualitas. Ajakan ini nampaknya disambut antusias oleh para pengurus yayasan  swasta sehingga pada saat akhir sesi dan saya beranjak untuk mengisi seminar GESS yang siang hari mereka menghentikan saya sejenak dan meminta kontak untuk bisa berhubungan selanjutnya terkait dengan pelatihan pelatihan iGI
Tentang revolusi mental, saya  menghimbau audiens untuk jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Sejarah tentang bagaimana HOS Cokroaminoto menjadi seorang guru bangsa yang kemudian menginspirasi dan   memotori generasi berikutnya yang menjadi pemimpin-pemimpin awal Indonesia.  Mereka adalah  Soekarno, Hatta, Suwardi Suryaningrat, Doktor Sutomo dan lain-lain. Beliau melakukan semuanya bukan karena hutang budi kepada rakyat Indonesia karena beliau bukan PNS atau menerima gaji yang diambilkan dari pajak rakyat. Sesungguhnya  beliau melakukan semuanya karena hutang budi kepada negeri ini, yaitu negeri yang telah melahirkannya. Negeri yang akan tampak sebagai surga yang ijo royo-royo jika penghuninya sudah meninggalkannya menuju ke padang pasir di Timur Tengah dan mulai membuat perbandingan.  Beliau korbankan harta benda, tenaga, pikiran, dan waktu yang tidak singkat untuk menginspirasi dan memintarkan anak-anak muda yang kemudian membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan. Beliau  menggunakan paradigma berpikir tangan diatas lebih baik  daripada tangan dibawah. Untuk itu saya mengajak hadirin untuk kembali kepada revolusi mental dalam nawacita dan mempertegas peran para guru  yayasan pendidikan swasta dalam mengawalnya. Saya sebutkan bahwa IGI mengajak  agar  guru dan elemen-elemen pendidikan swasta untuk merombak paradigma berpikir dari tangan di bawah menjadi tangan di atas. Dari kebiasaan meminta kepada kebiasaan memberi, sehingga cita-cita untuk mendapatkan Indonesia emas dengan memanfaatkan generasi berkualitas  bonus demografi bukanlah isapan jempol.

IGI mengajak semuanya untuk bersama-sama bersinergi secara mulia dengan merubah mindset! Merubah paradigma berpikir untuk SHARING AND GROWING TOGETHER!  “Jangan tanya apa yang kau dapat dari negerimu, tapi tanyakan apa yang bisa kuberikan untuk negerimu”, seru saya mengutip quotenya John F Kennedy. Ketika semua orang memulai dari diri sendiri   merevolusi mentalnya sedemikian rupa untuk saling memberi memberi,  maka semangat ini akan membawa kepada keberadaan Indonesia yang  lebih baik di masa depan. Tidak hanya pada sektor pendidikan tetapi juga pada sektor-sektor yang lain seperti sektor sosial, politik, ekonomi, budaya, hankam , dan lain-lain.

IGI   mengajak kepada guru guru swasta yang mungkin  merasa rendah diri untuk terus bergerak   membangun dirinya sendiri meningkatkan kualitas di era abad 21 di mana industri kreatif menjadi andalan. Guru-guru harus meletakkan pikirannya kepada  pikiran besar yang didalamnya dibicarakan ide-ide dan penciptaan-penciptaan.  Bukan pikiran rata-rata yang hanya membicarakan event atau bahkan pikiran kecil yang hanya membicarakan orang lain atau bergunjing. Sudah saatnya guru memperluas   zona nyaman mereka. Guru  dengan jumlahnya yang besar seharusnya sebagai gunung berapi yang siap setiap saat siap meledakkan diri dan  memuncratkan lava pijar ide-ide brilian nya untuk membuat perubahan. Guru jangan sampai menjadi dormant sama sekali, besar tetapi tidak berdaya. Guru harus bergerak optimal sehingga  sosok yang besar itu sebenarnya sosok yang hidup dan benar-benar  melakukan perubahan, bukan tidur mendengkur dan membiarkan semuanya berlalu. Guru tidak boleh dibiarkan menjadi  jadul dan akhirnya dilindas oleh perubahan zaman. Jika revolusi mental ini berjalan dengan baik dan nawacita tercapai maka survey-survey tentang literasi yang saat ini memposisikan murid-murid Indonesia pada level bawah sebagaimana diungkapkan oleh moderator pada awal-awal diskusi, maka saya yakin ke depan hasilnya akan berlawanan 180°.

IGI  juga mengingatkan pemerintah  sebagaimana   yang diungkapkan oleh Dirjen Dikdasmen, bahwa Indonesia selama kurun waktu 15 tahun lebih dari tahun 2000 sampai tahun 2016 sudah berganti kurikulum tiga kali, tetapi  yang terjadi justru mutu pendidikan tidak semakin naik.  Sebaliknya kualitas pendidikan kita semakin menurun. Pemerintah  sudah tahu itu tetapi tetap saja melakukan apa yang disebut  sebagai “doing business as usual” dalam mengelola pendidikan di tanah air.  Selalu itu lagi dan itu lagi . Mereka sudah tahu bahwa apa yang mereka kerjakan  hasilnya pasti bisa ditebak tetapi  pendekatan yang dilakukan hampir tidak ada yang berubah. Orang kemdikbud menyebut itu sebagai masalah bersama dan harus diselesaikan secara bersama-sama pula.

Sekalipun demikian ada kabar baik untuk kita. Pihak kemendikbud mengakui bahwa peran organisasi profesi sangat ipenting bagi peningkatan kompetensi guru, untuk itu pada saatnya nanti sertifikasi terhadap profesi guru akan diserahkan kepada organisasi profesi. Ini merupakan tantangan untuk  organisasi profesi dalam membangun dirinya sehingga mempunyai kualitas yang bisa diandalkan untuk menjadi lembaga sertifikasi bagi profesi yang dihimpunnya.

PGRI sendiri lewat kepala balitbangnya , Muhammad Abduh Zen menyampaikan kepada saya dan Pak Karim pada saat makan siang bahwa sebaiknya yang urgen  digarap oleh organisasi profesi saat ini adalah duduk bersama untuk merumuskan kode etik guru dan dewan kehormatan guru yang anggotanya berasal dari seluruh organisasi profesi guru yang saat ini sudah diakui oleh pemerintah. Sebuah ajakan bersinergi dari organisasi profesi guru senior yang perlu disambut hangat. Zen sendiri  dalam berbagai kesempatan di FGD tersebut sering mengatakan akan terus belajar untuk bagaimana mengusahakan peningkatan kompetensi guru secara lebih baik ketika dipancing pertanyaan oleh moderator tentang apa yang akan dilakukan oleh organisasi tersebut dalam rangka meningkatkan kompetensi guru. Saya  berpikir tampaknya gerakan IGI selama ini punya pengaruh terhadap gunung berapi besar yang sedang dormant untuk mulai mengepulkan asap. 

Semoga angin baik yang mulai berhembus ini akan menjadikan layar pendidikan Indonesia berkembang dengan bagus dan kita  bisa mengarungi lautan perubahan abad 21 untuk mencapai masa keemasan 100 tahun Indonesia merdeka dengan selamat sentosa.

Amin.
Salam pergerakan pendidikan!

Mampuono

Comments

comments

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini