Tag Archives: Catatan Harian

TOT SEGUPEGTAS IGI DAN KPK

Ikatan Guru Indonesia bukan hanya melatih skill padegogik guru agar mampu menghadirkan pembelajaran yang menarik dan tidak membosankan tetapi juga melatih guru untuk menghadirkan integritas dalam dunia pendidikan.

Tanggal 9-11 Maret 2018, Puluhan Calon Pelatih Segupegtas, yaitu Guru PAUD/RA/TK, SD, SMP, SMA, MA, SMK bahkan ada Pengawas serta Guru yang juga Dosen, berkumpul di gedung KPK, tentu saja bukan untuk diinterogasi atau diadili seperti para koruptor tetapi dilatih bagaimana melatih guru lainnya agar menghadirkan kejujuran dan nilai-nilai Integritas dalam pembelajaran di sekolah-sekolah.

Berbagai penangkapan terhadap pejabat ataupun swasta yang bermain-main dengan pejabat adalah bentuk penindakan sebagai upaya melahirkan efek jera bagi pejabat lainnya. Apa yang dilakukan IGI dan KPK adalah upaya pencegahan sejak dini, harapannya generasi kini yang akan menjadi penentu kebijakan Indonesia 20 atau 30 tahun yang akan datang menjadi orang-orang yang bukan saja tidak korup tetapi juga mampu mencegah korupsi disekitarnya.

Tentu saja, keteladanan menjadi kuncinya, untuk itu Segupegtas atau Semua Guru Penggerak Integritas bergerak untuk menjadikan guru-guru sebagai penggerak integritas dan menjadi contoh teladan bagi murid-muridnya. Memang persoalan teladan ini menjadi problem serius, bagaiman tidak, pejabat negara yang kadang sudah menjadi panutan siswa dan pemuda malah tertangkap tangan oleh KPK, parahnya lagi masih ada aturan yang membolehkan mantan narapidana korupsi melenggang mengikuti pilkada untuk menjadi pemimpin daerah.

TOT Segupegtas IGI-KPK diikuti oleh guru-guru dari berbagai provinsi di Indonesia dan diharapkan nantinya akan menggerakkan pelatihan-pelatihan di daerah sebagai upaya melawan korupsi. Arbain dari IGI Pekanbaru Riau sebagai Founder Segupegtas optimis akan terus bergerak bersama semua pelatih Segupegtas di seluruh Indonesia.

12 Maret 2018
Muhammad Ramli Rahim
Ketua Umum Pengurus Pusat IGI

DUA AYAT SPESIAL UNTUK GURU

SUPRIADI*

Sabtu 25 Maret 2017 menjadi sebuah kisah yang mungkin tidak bisa saya lupakan dalam perjalanan hidup ini. Iya, hari ini pertama kali saya mengurusi sebuah kegiatan workshop, tingkat kabupaten, padahal sebelum-sebelumnya saya hanya selalu jadi peserta di sebuah kegiatan. Menjadi panitia memang tidak mudah dari persiapan tempat, mempersiapkan undangan-undangan, perizinan dan masih banyak lagi yang lainnya. Kegiatan workshop ini dibarengi dengan pelantikan pengurus IGI daerah. Belum ada 1 tahun saya menjadi anggota IGI dan sekarang saya sudah harus menjadi pengurus daerah. Sebuah tanggung jawab yang sangat besar bagi saya untuk bisa memfasilitasi guru-guru supaya dapat belajar

Kegiatan workshop kali ini sebenarnya merupakan agenda Roadshow IGI Pusat yang ditujukan untuk wilayah Kalimantan Barat selama tiga hari. Dan Pada hari ketiga kegiatannya dilaksanakan di Kabupaten Ketapang. Sebuah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan, karena pemateri pemateri yang hadir adalah orang-orang hebatnya IGI yaitu Sekjen IGI Bapak Mampuono dari Semarang dan bendahara umum IGI yaitu Bapak Gusti Surian dari Kalimantan Selatan. Kedua orang ini benar-benar luar biasa segudang prestasi yang mereka raih baik itu tingkat nasional bahkan tingkat internasional. Selama 2 hari saya bersama mereka, banyak sekali ilmu yang dapat dipetik dari kebersamaan ini. Sesuatu hal yang paling sangat saya ingat ketika kami makan malam bersama, Bapak Sekjen mengatakan ” Apa yang dilakukan IGI saat ini?” Kemudian Beliau menyuruh saya membuka al-qur’an digital yang ada di Android dan membuka surat Al Baqarah ayat 44 dan surat Ash-Shaf ayat 3, kemudian membaca terjemahannya masing-masing Ayat tersebut.

” Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka Tidakkah kamu berfikir?” (QS. Al-baqarah: 44)

” Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa apa yang tidak kamu kerjakan” (QS.Ash-Shaf: 3)

Dari dua surat dan 2 ayat diatas sudah jelas bahwa kita sebagai seorang guru sering merupakan dan melanggar ayat diatas. Kita (guru) selama ini selalu menyuruh siswa untuk belajar hal-hal yang baru dari yang tidak tahu supaya menjadi tahu, yang tidak tahu perkalian menjadi Mahir dalam perkalian, yang tidak tahu menulis jadi bisa menulis, yang tidak tahu membaca jadi lancar dalam membaca, dan masih banyak yang lainnya. Apa yang dilakukan oleh Sang Guru? Apakah guru mau belajar? Apakah guru terus membaca dan menulis? Itu pertanyaan kita (guru) sendiri yang berhak untuk menjawabnya.

Menuntut ilmu bagi kita adalah sebuah kewajiban. Menuntut ilmu bukan hanya buat mereka yang duduk di bangku sekolah saja, melainkan buat semua umat manusia. ” Tuntutlah ilmu sejak dari buayan hingga liang lahat”. Hadits ini tidak jarang kita dengar dalam ceramah atau kita jumpai ketika membaca buku-buku agama. Terlepas dari shohih atau tidaknya hadis itu bagi kita menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban.

Semasa masih bergelar sebagai mahasiswa perguruan di bangku kuliah, kita (guru) benar-benar menjalani aktivitas perkuliahan dan terus belajar demi untuk mendapatkan Indeks Prestasi (IP) yang kita butuhkan. Banyak ilmu yang kita dapatkan demi untuk bekal menjadi seorang guru yang profesional. Tapi apa yang terjadi ketika sudah lulus dari bangku perkuliahan dan sudah terjun ke dalam dunia pendidikan. Apakah kita masih terus belajar?

Saya terinspirasi dari sebuah buku Guru Eksis Why Not? tulisan dari Bapak Dr. Basman Tompo, S.Pd, M.Pd mengatakan Kita harus berani keluar dari zona nyaman. Apa itu zona nyaman? zona nyaman atau istilah comfort zone adalah suatu keadaan atau kondisi dimana seseorang sedang terlena atau terbuai. Sebagian kita yang berprofesi guru menjadi terbuai dan keenakan dengan apa yg ada sekarang. Kita menjadi pesimis untuk berubah dan sudah sangat puas dengan apa yang menjadi kebiasaan kita. Kita sudah cukup nyaman dengan kondisi saat ini. Mengajar hanya sekedar memenuhi kewajiban, pindah dari kelas yang satu ke kelas yang lain. Kita tetap setia menggunakan model pembelajaran konvensional, hari demi hari, minggu demi minggu. Berharap setiap bulan menerima gaji. Begitu seterusnya. Tidak ada perubahan sedikitpun. Terbiasa oleh rutinitas harian, ibarat robot yang sudah diprogram oleh pembuatnya untuk suatu fungsi khusus. Kaku dan statis. Lantas, mengapa zona nyaman berbahaya? Karena orang yang terjerat olehnya akan mengalami kondisi stagnan, tidak bisa lagi maju, tidak bisa lagi berkembang. Jalan di tempat. Celakanya kinerja cenderung menurun karena tidak bisa mengimbangi kondisi kini yang senantiasa dinamis. Kemajuan teknologi yang begitu cepat telah menggempur segala sendi kehidupan manusia tak terkecuali dunia pendidikan. Mau tidak mau, suka tidak suka, guru harus meninggalkan kebiasaan lama yang masih mengajar dengan menggunakan pola pola tradisional. Sebetulnya, mereka tahu bahwa eksistensi dirinya sebagai guru di abad ini menjadi terancam jika tidak mau berubah. Namun sayangnya, tidak semua kita bersemangat untuk tampil menjawab tantangan zaman karena tidak berani keluar dari zona nyaman. Olehnya itu tidak ada jalan lain, agar guru dapat keluar dari kondisi ini diperlukan komitmen tinggi, tekad yang bulat, daya hentak yang kuat untuk dapat melepaskan diri dari jeratan energi zona nyaman.

*Guru SMP N 1 MHU

KALAU BEGINI, APAKAH SUDAH AMAN?

SUPRIADI*

IGI (Ikatan Guru Indonesia) adalah merupakan salah satu organisasi profesi keguruan yang masih sangat muda usianya. Tanggal 26 November 2009 merupakan hari jadi IGI, sehingga pada HGN tahun 2016 IGI baru berulang tahun yang ke 7. Iya, kalau di umpamakan seorang anak dengan usia 7 tahun dia baru masuk sekolah dasar, sehingga masih banyak yang belum mengenalnya. Walaupun IGI sebagai organisasi baru, tapi gerakannya seolah-olah gerakan organisasi yang sudah sangat senior sehingga IGI dianggap sebagai organisasi saingan yang harus diperhitungkan oleh organisasi lain. Seringkali kita mendengar di daerah-daerah terjadi gesekan-gesekan dengan organisasi paling senior akibat dari kehadiran IGI. Menurut saya, ini terjadi karena kurangnya komunikasi antara sesama organisasi sebelumnya.

Kabupaten tempat saya merupakan salah satu kabupaten yang baru mengenal IGI. SK (Surat Keputusan) kepengurusan diterbitkan pada tanggal 2 Januari 2017, sehingga masih banyak guru-guru yang belum tau apa itu IGI. Sebagai organisasi yang baru di kabupaten ini dan untuk menghindari terjadinya benturan-benturan di lapangan yang tidak kita inginkan, maka saya selaku pengurus beserta teman-teman yang lain mengagendakan untuk melaksanakan kunjungan dan mengadakan dialog bersama. Karena kami menganggap komunikasi adalah sesuatu yang sangat penting. Dengan komunikasi yang baik maka akan bisa terjalin juga hubungan yang baik pula.

Pada tanggal 5 Februari 2017 komunikasi yang pertama kami lakukan adalah mengadakan dialog dengan organisasi seprofesi yaitu PGRI. PGRI merupakan organisasi paling senior yang dimiliki negara ini, maka sepantasnya lah sebagai organisasi baru kita menjalin kerjasama dengan orang yang kita anggap paling senior yang dalam hal ini adalah organisasi PGRI. Sebab di lapangan nantinya kita akan berbenturan langsung bersama karena kita sama-sama organisasi seprofesi. Mau tidak mau persaingan akan terjadi, maka untuk menghindari terjadinya persaingan yang tidak baik dilakukanlah dialog terlebih dahulu.

Komunikasi selanjutnya yang dilakukan adalah berkunjung di dinas pendidikan. Pada hari Jum’at tanggal 24 Februari 2017. Bagi saya berkunjung di dinas pendidikan dan harus menghadap kepala dinas pendidikan adalah merupakan kunjungan yang sangat menegangkan dan mengkhawatirkan. Mengapa? Alasannya adalah beliau adalah mantan ketua PGRI dan loyalitasnya terhadap PGRI sudah tidak diragukan lagi, jadi perasaan akan terjadinya penolakan terhadap IGI sudah muncul dalam benak saya pada saat itu. Alasan selanjutnya adalah beliau merupakan pimpinan lembaga tertinggi dalam dunia pendidikan artinya beliau juga merupakan pimpinan saya. Mulai muncul juga di benak saya bahwa banyaknya kabar dari daerah-daerah lain anggota IGI mendapatkan intervensi dari Kadis. Sampai isu akan di mutasi juga muncul dalam fikiran saya. Terus terang saja rasa takut mulai muncul di benak saya waktu itu, tapi saya mencoba untuk menenangkan diri dengan cara sambil bercanda-canda dengan teman. Saya bersama dua orang teman yang lain pergi ke kantor dinas pendidikan sekitar pukul 13.30 WIB. Sambil menunggu bapak Kadis yang belum hadir waktu itu, kami bertiga ngobrol bersama tentang strategi-strategi pembicaraan yang akan di kita bicarakan bersama bapak Kadis.

Sekitar 1 jam menunggu akhirnya bapak Kadis pun datang juga. Kemudian sambil mengisi buku tamu saya dan dua orang teman yang lain menunggu antrian untuk menghadap bapak Kadis, karena selain kami juga banyak tamu yang sudah menunggu sebelumnya. Setelah sekitar pukul 16.00 WIB dan tamu pada saat itu sudah tidak ada lagi, tiba-tiba asisten dari bapak kadis mendatangi kami dan mengatakan bahwa, kami diperintahkan untuk menghadap sekretaris dinas kemudian Kabid Ketenagaan. Naaaaah looooo. Kok bisa? Padahal kita hanya mau koordinasi. Apa hubungannya dengan sekretaris dinas dan Kabid Ketenagaan? Rasa curiga mulai muncul di benak kami bahwa Kadis mau mempersulit gerakan para pengurus IGI. Tapi saya dan teman-teman menganggap ini tantangan. “Kita ikuti saja dulu apa yang beliau inginkan” sahut salah seorang dari kami. Kami langsung saja menuju ke ruangan sekretaris dinas. Untung saja bapak sekretaris dinas belum pulang. Disini kami kembali menunggu, sebab bapak sekretaris sedang sibuk dan ada tamu. Sambil menunggu kami bersepakat untuk melaksanakan sholat Ashar secara bergantian, takutnya ketika kami sholat Ashar secara bersama-sama bapak sekretaris malah pulang. Jadi sekitar 1 jam lagi kami menunggu kembali. Akhirnya sekitar pukul 17.00 WIB, bapak sekretaris pun baru bisa menemui kami. Bayangkan dari 13.30 – 17.00 WIB perjuangan kami. Sekitar 3 jam 30 menit kami menunggu, barulah bisa menemui salah satu pembesar dari dinas pendidikan. Setelah kami jelaskan tentang IGI kepada bapak sekretaris, Alhamdulillah tanggapan dari bapak sekretaris sangat positif tentang keberadaan IGI. Pesan bapak sekretaris waktu itu adalah “Jadikan organisasi ini benar-benar organisasi yang sesuai dengan tujuan utamanya, yaitu untuk meningkatkan kompetensi guru jangan sampai disalahgunakan seperti masuk dalam dunia politik. Semua itu tergantung dari pengurus yang ada”. Mungkin itu sedikit dari pesan bapak sekretaris terhadap kami para pengurus IGI Daerah. Setelah menghadap bapak sekretaris kami langsung pulang karena saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 17.30 WIB. Kami bersepakat akan melanjutkan menghadap Bapak Kepala Bidang Ketenagaan sesuai perintah dari Bapak Kepala Dinas.

Pada hari seninnya, sekitar pukul 14.00 WIB, kami langsung menghadap Bapak Kabid Ketenagaan dan hasilnya hampir sama dengan Bapak Sekretaris bahwa beliau menyambut baik kehadiran IGI dan harapan dari beliau supaya IGI bisa bekerjasama dengan Dinas Pendidikan untuk saling membantu meningkatkan mutunya guru. Tidak butuh waktu lama menghadap Bapak Kabid, hanya butuh waktu sekitar 30 menit berbicara bersama beliau. Setelah itu kami langsung menuju ruangan Bapak Kepala Dinas dan pada saat itu beliau belum hadir, kembali acara menunggu kami lakukan. Kami terus menunggu sekitar 2 jam tetap belum juga ada tanda-tanda kedatangan Bapak Kepala Dinas. Ternyata informasi dari asistennya bahwa Bapak Kepala Dinas ada kegiatan dan tidak bisa hadir ke kantor. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB. Kami bergegas pulang. Tapi sebelum pulang kami bersepakat untuk duduk nyantai di warung kopi terlebih dahulu sambil membicarakan IGI kedepannya. Apakah kita masih berusaha ketemu Bapak Kepala Dinas atau kita tinggalkan saja? Tidak lama kami duduk santai, saya mendapat telpon dari teman bahwa kawan-kawan IGI di undang Bapak Kepala Dinas ke rumahnya malam ini juga jam 19.00 wib. Saya langsung kaget mendengar berita itu. Rasa takut, was-was kembali datang. Kami berdiskusi bahwa kita pasti dipertemukan bersama pengurus-pengurus PGRI, sebab jauh hari sebelumnya waktu saya mengirimkan berkas tentang legalitas IGI melalui bantuan dari pengawas sekolah saya, Bapak Kepala Dinas mengatakan bahwa “Oooooh, ini adalah saingan PGRI dan harus saya pertemukan dengan PGRI”. Nah kata-kata itu yang saya ingat terus, informasi dari pengawas sekolah. Wah kacau kalau PGRI bertemu kami di hadapan Kepala Dinas pasti PGRI mulai ngotot tidak mau menerima keberadaan IGI karena di dukung oleh kepala dinas yang notabenenya mantan ketua PGRI, pikiran saya pada saat itu. Karena rasa takut, was-was bercampur jadi satu sampai-sampai jajan yang di hidangkan di atas meja kami habis di lahap dua orang teman tanpa saya sadari, hehehehe. Benar-benar stres saya di buatnya pada waktu itu. “ini sudah resiko, ini bumbu-bumbu organisasi bro” ucap salah satu dari teman sambil menyantap jajan. Kayaknya mereka tanpa ada beban sedikitpun.

Malam harinya, acara pertemuan pun sudah tiba kami waktu itu bertiga mengunjungi rumah Bapak Kepala Dinas. Apa yang terjadi? Ternyata apa yang saya khawatirkan selama ini berbanding terbalik dari kenyataan sangat bertolak belakang 180 derajat dari yang saya perkirakan. Bapak Kepala Dinas sangat bijaksana. Beliau sangat antusias terhadap IGI. Bahkan saya beranggapan bahwa dari sekian banyak kunjungan yang telah kami lakukan, kunjungan dengan Bapak Kepala Dinas lah yang sangat berkesan dan paling lama. Bayangkan saja dari jam 19.00 WIB sampai dengan 22.00 WIB.

Setelah kunjungan bersama Dinas Pendidikan kami anggap selesai dan menghasilkan hasil yang sangat memuaskan. Selanjutnya kami mengagendakan untuk ketemu dengan orang nomor satu di Kabupaten yaitu Bapak Bupati. Tapi sebelum menghadap Bapak Bupati, secara aturan kami harus menghadap asistennya terlebih dahulu. Maka tanggal 28 Februari 2017 akhirnya asisten Bupati mau menerima kami dan kembali hasilnya hampir sama bahwa sangat mendukung akan kehadiran IGI sebagai wadah untuk meningkatkan sumber daya manusia dan ini sesuai juga dengan Visi dan Misi dari Bapak Bupati yaitu “Meningkatkan kualitas sumber daya manusia”. Sampai tulisan ini di buat, saya belum menerima agenda pertemuan dengan Bapak Bupati.

Dari hasil kunjungan dan pertemuan yang telah kami lakukan, bisa diambil kesimpulan bahwa hadirnya IGI dalam bidang pendidikan sebenarnya membawa angin segar terhadap dunia pendidikan itu sendiri. Hal ini di buktikan dari tanggapan-tanggapan para pemangku kebijakan yang kami datangi. Rata-rata semuanya mendukung akan visi dan misinya IGI. Yang menjadi persoalan kemudian mengapa masih sering kita mendengar di daerah-daerah lain adanya penolakan terhadap IGI, adanya intimidasi terhadap para pengurus IGI. Menurut saya karena faktor komunikasi awal yang kurang dilakukan, sehingga hanya isu negatif yang lebih banyak berkembang.

Melihat dari perjalanan di atas timbul sebuah pertanyaan, apakah IGI di tempat saya sudah aman? Apakah kami sudah puas dengan hasil itu? Harapan kami bersama hanyalah semoga dengan wadah adanya IGI kita bisa menambah amal ibadah, bisa menjadi manusia yang bermanfaat untuk orang lain. Amin.

*Guru SMP N 1 MHU

ROH DAN PERGERAKAN – Catatan Kinerja Setahun Ketua Umum IGI MRR

Hari ini adalah setahun kinerja seorang guru yang berlatar belakang aktivis HMI sebagai Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia. Saya melihat sepak terjang Muhammad Ramli Rahim (MRR) selama 12 bulan ini cukup hanya satu kata: dahsyat…!!!

Kehebatan MRR terletak pada upayanya menjadikan IGI sebagai dunia pergerakan. Bagi kaum pergerakan, tak ada yang tak mungkin karena setiap kemungkinan adalah proses berkeringat dan berpikir. Pergerakan hanya mengenal kata perubahan. Setiap kita akan berubah, setiap situasi pasti berubah, dan setiap perubahan adalah keabadian.

MRR menemukan pergerakan tidak hanya dalam dirinya tapi juga dalam genderang seorang Mampuono Rasyidin yang ditahbiskan menjadi duetnya, sebagai sekjen, dalam berkeringat dan berpikir.

Maka lihatlah apa yang terjadi selama setahun ini. Kita melihat IGI seperti sedang merayakan selebrasi kemenangan. Di setiap daerah terjadi pelantikan pengurus baru. Guru-guru yang selama ini diam, perlahan namun pasti mulai bicara, bersuara dan bergerak. Mereka bahkan tak segan berontak melawan hegemoni yang mengungkungnya.

Mana mungkin guru mengajarkan kemerdekaan bagi anak didiknya jika mereka sendiri tak merdeka dalam berkata-kata dan berpikir. Bahkan sekadar bermimpi pun dilarang. Perhelatan HUT RI yang setiap tahun dilakukan dalam upacara resmi di sekolah-sekolah nyaris tak mengubah kemerdekaan dalam diri guru-guru.

IGI hadir membawa perubahan itu. Perubahan dari yang diam menjadi bicara, dari bicara menjadi bersuara, dari bersuara menjadi bertindak, dari bertindak menjadi bergerak dari bergerak menjadi berontak, dan dari berontak menjadi merdeka. IGI membawa kemerdekaan pada setiap jantung yang selama ini berdetak dan nadi yang berdenyut. Dan roh perubahan itu adalah Sharing And Growing Together. Berbagi dan tumbuh bersama.

Di bawah MRR dan Mampuono, IGI mengibarkan bendera berbagi dan menanamkan tumbuh bersama. Bendera inilah yang terus dikibarkan angin ke seluruh penjuru negeri. Guru-guru menyambutnya dengan penuh antusias. Kabinet IGI, Gusti, Rose, Dahli, dan banyak lagi lainnya bergantian menanam dan menumbuhkan semua tanaman di taman bunga yang indah.

IGI tak bisa memberikan apa-apa kepada para guru di seluruh Indonesia. Tapi Ketua IGI MRR yakin lima tahun ini akan banyak guru yang berubah, terutama kompetensinya. Jutaan dana sertifikasi guru tak lagi hanya dibelikan panci dan daster atau kredit motor dan mobil. Dana sertifikasi kini didorong menjadi instrumen peningkatan kompetensi dengan belanja pelatihan buku-buku, dan berbagai jurnal.

MRR mati-matian ingin mengubah kebekuan yang selama ini menjadi hambatan perubahan: peningkatan mutu guru dilakukan secara konvensional dan tradisional. Dunia sudah berubah tapi cara membina dan meningkatkan mutu guru masih dilakukan dengan cara lama. Ia ingin revolusi digital yang mengubah wajah dunia hadir dan menjadi bagian penting perubahan peningkatan kompetensi guru.

Indonesia yang sedemikian luas tak bisa hanya disentuh oleh guru-guru hebat dan mentor-mentor dahsyat dari Jakarta dan kota-kota besar di Jawa untuk menyebarkan ilmunya di daerah. MRR ingin menghadirkan konten yang bergerak dan mendidik seluruh guru di penjuru negeri tanpa harus menunggu workshop dan seminar dari pusat. Itu artinya diperlukan kesadaran dan motivasi maha tinggi dari dalam diri guru itu sendiri untuk belajar dan membekali dirinya dengan keterampilan digital.

Selanjutnya dunia akan terbuka, Sharing And Growing Together akan menemukan habitatnya. Semua guru berbagi konten, berbagi pengetahuan, berbagi ilmu, berbagai sumber daya dan berbagi potensi untuk tumbuh bersama.

Sejatinya MRR ingin mengajarkan pada kita bahwa Indonesia bukan negeri secuil Singapura, tapi negeri sebesar gabungan seluruh negara Eropa dan seluas benua Amerika. Tak mungkin para mentor itu bisa berkeliling Indonesia bertemu satu per satu guru di ujung-ujung negeri ini. Tak mungkin meningkatkan pendidikan dan menyiapkan generasi bangsa ini sendirian. Beraama IGI, guru-guru yang sadar dan penuh motivasi berbagi dan tumbuh bersama akan menciptakan revolusi putih: mengganyang kebodohan dan mencerdaskan kehidupan bangsa…!!!

Terima kasih Daeng Ramli…Jangan pernah menyesal berkeringat untuk guru di Indonesia tapi menyesallah jika berkeringat hanya untuk menggembungkan perut dan menghitamkan rambut. Semoga kita semua diberi kekuatan melakukan perubahan untuk berbagi dan tumbuh bersama.

Terima kasih untuk Mas Mampuono dan sekruuh kabinet IGI yang tak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih juga untuk para pembina dan pendiri IGI yang senantiasa menyemangati dan mengawal pergerakan ini, HS Ahmad Rizali, almukarom Satria Dharma, Gus Mohammad Ihsan, Cak Sururi, Pak Indra Jati dan Pak GHP.

Salam pergerakan…!!! (Habe Arifin)