TELUR ELANG DAN DISKRIMINASI DALAM PEMBELAJARAN

0
1736
Lukisan SAGUSATAB oleh Mampuono

Cara belajar para siswa dan para guru memang berbeda. Mereka berbeda dalam banyak hal, seperti skemata, pengalaman, kematangan sosial, termasuk kematangan fisik maupun mental. Siswa yang berada pada usia adolescent learner (remaja) dan guru yang berada pada usia adult learner (dewasa) memiliki kematangan psikologis dan cara berpikir yang sama sekali berbeda. Maka cara untuk mengajar merekapun menjadi berbeda. Jika yang diajar para siswa, maka pendekatan cara mengajar (baca: didaktik metodik) yang diperlukan adalah ilmu pedagogi, sedangkan jika yang diajar para guru, maka ilmu yang diperlukan adalah andragogi.

Pedagogi berasal dari bahasa Yunani Kuno yang terdiri dari akar kata “paid” yang berarti kanak-kanak dan “agogos” yang berarti memimpin, membimbing atau membina. Jadi Pedagogi mengandung arti memimpin, membimbing atau membina. kanak-kanak. Lalu diartikan secara khusus sebagai “suatu ilmu dan seni mengajar kanak-kanak”. Jadi sebetulnya pedagogi adalah ilmu mengajar dengan subjek kanak-kanak, walaupun pada akhirnya pedagogi secara umum didefinisikan sebagai “ilmu dan seni mengajar” saja.

Seperti pedagogi, andragogi juga berasal dari bahasa Yunani kuno. Andragogi terdiri dari akar kata “andr”, yang berarti orang dewasa, dan “agogos’ yang artinya sudah dibahas. Jadi Andragogi diartikan sebagai seni dan ilmu untuk membantu orang dewasa belajar. Penggunaan istilah dewasa ini dimaksudkan untuk memberikan suatu alternatif terhadap pedagogi yang selama ini mengacu kepada pendidikan yang berfokuskan pada siswa untuk semua umur.

Secara umum siswa cenderung belajar karena kemauan pihak lain. Mereka adalah para pembelajar yang harus dikondisikan “setengah merdeka”. Mereka harus dipimpin, dibina, dan dibimbing. Secara psikologis, mereka justru lebih nyaman jika mereka diarahkan dan dibebani untuk mengerjakan tugas dan kewajiban. Bahkan dalam kasus tertentu, pendekatan behaviouristik (baca: monkeys see, monkeys do) sangat cocok diterapkan. Kalau perlu dengan sedikit “paksaan” berupa pemberian reward and punishment, maka hasil pembelajaran cenderung sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Maka pendekatan yang paling tepat dalam hal ini adalah pedagogi.

Pembelajar dewasa belajar lebih karena kemauannya sendiri. Mereka adalah para pembelajar merdeka. Jika terlalu dipimpin atau dipaksa-paksa, hasilnya justeru bisa jauh berbeda dari harapan semula. Kondisi psikis pembelajar dewasa ini seperti perumpamaan telur elang. Jika cangkangnya retak dari dalam, maka elanglah yang muncul. Tetapi jika retaknya sebab benda lain dari luar, yang muncul bukan elang, tapi bisa jadi kudapan bagi para predator, bahkan menjadi omelette atau telur dadar. Elangnya? Mati di atas piring saat masih berupa kuning telur atau langsung masuk ke perut predator. Maka kecenderungan keberhasilan pembelajaran untuk orang dewasa adalah ketika mereka memiliki kesadaran diri untuk meningkatkan kompetensi. Pendekatan yang paling tepat untuk mereka adalah andragogi.

Kalau yang belajar adalah para siswa, bagaimanya cara mengumpamakannya? Masih seperti perumpamaan telur elang, jika cangkangnya susah retak dari dalam, padahal sudah saatnya menetas, maka induk elang akan membantu meretakkan cangkang dengan paruhnya yang tajam. Dan tentu saja, tetap elanglah yang muncul. Begitu kan?

Maka yang perlu diperhatikan, ketika para trainer atau coach yang sama-sama berprofesi sebagai guru akan mengajar rekan gurunya, mereka harus terlebih dahulu memahami psikologi para pembelajar dewasa itu. Lalu yang perlu mereka terapkan adalah pendekatan pembelajaran untuk orang dewasa, andragogi. Pendekatan ini tentu saja mendiskriminasikan cara membelajarkan mereka terhadap cara membelajarkan siswa, karena memang naturenya begitu.

Jika para guru diperlakukan seperti siswa, disuruh-suruh, ditakut-takuti dengan hukuman, diming-imingi dengan reward, tetapi dengan pendekatan andragogi seperti kepada siswa, padahal mereka pembelajar dewasa yang merdeka, tentu mereka menjadi tidak nyaman. Mereka mungkin akan merutuk di dalam hati dan mengatakan, “Saya ini orang dewasa, kok diperlakukan seperti anak kecil. Apa tidak ada cara lain?” Dan ini bisa berimbas kepada suasana pelatihan yang kurang kondusif sampai mangkirnya para peserta ditengah jalan karena mereka tidak diperlakukan sesuai dengan apa yang mereka inginkan.

Keadaan psikologis subjek belajar yang berbeda menuntut perlakuan yang berbeda pula. Kedua perlakuan deskriminatif kepada siswa dan guru itu diimplementasikan tujuannya bukan untuk menghasilkan output dan outcome yang berbeda, tetapi justru sebaliknya, ini untuk menghasilkan produk dan imbas pembelajaran yang sama-sama optimal, yang jauh dari kata beda.

Sekjen IGI
Master Coach dan Founder Menemu Baling

Mampuono R. Tomoredjo

Penginapan Pak Atmo Karanganyar, hari Senin pagi, tanggal 27 Maret 2017 pukul 07. 00 WIB. Menunggu sesi pelatihan di Gedung IPHI Kabupaten Karanganyar

Menulislah 5 menit dengan metode menemubaling.

Comments

comments

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini