Pancasila sebagai moral value bangsa telah mengalami pasang surut dalam perjalanannya . Indoktrinasi berlebihan yang dilakukan pada era orde baru dengan berbagai pola penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) tak ayal justru berbuah kontradiktif. Alih-alih moral bangsa menjadi semakin tertata dan jiwa Pancasila semakin menggelora, masyarakat justeru menjadi phobia dengan segala sesuatu yang berbau Pancasila. Ketika kebebasan itu datang, menangnya orde reformasi dan runtuhnya rezim orde baru, yang terjadi adalah euphoria untuk bisa menggunakan standar apa saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa ini seolah-olah kembali mencari-cari jati diri, padahal Pancasila yang begitu diagungkan oleh para pendiri NKRI dan dihormati bangsa-bangsa di dunia ada di depan mata.
*Sejarah Kelahiran*
Berbicara tentang Pancasila dan prakteknya dalam bernegara, kita bisa belajar banyak dari sejarah. Istilah Pancasila, menurut salah satu versi sejarah, lahir ketika disampaikan oleh Soekarno dalam pidatonya pada sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 . Ada tiga orang yang berpidato tentang dasar negara di dalam sidang tersebut. Mereka adalah Soekarno, Moh Yamin, dan Soepomo. Ketiganya sama-sama mengungkapkan dasar negara yang mirip antara satu dengan yang lain, tetapi Sukarno-lah yang menyebutkan istilah Pancasila. Jadi bisa dianggap dialah penggali Pancasila yang sebenarnya.
Ketua sidang BPUPKI Dr. Radjiman Widyodiningrat sempat menanyakan tentang Pancasila tersebut dan memnta penjelasan lebih lanjut. Karena Pancasila ini sudah menjadi bahan perenungan Soekarno sejak lama, maka dia dapat menguraikannya dengan sangat gamblang dan mudah untuk dicerna. (Versi lain sejarah oleh Ngroho Notosusanto menyebutkan bahwa Muh Yamin-lah yang menggali istilah Pancasila pada pidatonya pada tanggal 29 Mei 1945).
Isi Pancasila yang melingkupi lima azas bernegara itu terilhamkan kepada Soekarno sejak muda. Apalagi ketika dia dibuang ke pengasingan di Ende, dia banyak merenung dan memikirkan cita-cita besar untuk mendirikan negara Indonesia. Soekarno memikirkan bagaimana Indonesia yang memiliki wilayah sangat luas dengan keanekaragaman budaya, suku, agama, dan bahasa bisa disatukan di dalam sebuah negara. Sebuah republik yang kokoh berdiri dan kuat persatuannya. Oleh karena itu harus ada pengikat yang tidak tergoyah yang bisa mempersatukan bangsa ini. Soekarno akhirnya sampai kepada pemikiran tentang rumusan dasar negara Pancasila yang diusulkannya, yaitu:
1. Kebangsaan Indonesia atau Nasionalisme
2. Peri Kemanusiaan (Internasionalisme)
3. Mufakat atau demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang Maha Esa
Kelima hal itu kemudian disebutnya sebagai Pancasila.
Rupanya para hadirin di dalam sidang tersebut sangat tertarik dan sepakat untuk menindaklanjuti apa yang disampaikan oleh Soekarno. Sidang kemudian memutuskan membentuk Panitia Sembilan sebagai perumus dasar negara. Sembilan orang yang bergabung dalam Panitia Sembilan tersebut adalah Soekarno, Hatta, Yamin, Soebardjo, Maramis, Wahid Hasyim, Abikusno Tjokrosuyoso, dan Abdul Kahar Muzakkir.
Piagam Jakarta dan Toleransi
Hasil pertama rumusan Pancasila oleh panitia sembilan akhirnya dicantumkan di dalam sebuah perjanjian yang disebut sebagai Piagam Jakarta atau Jakarta Charter. Jika diteliti lebih lanjut, munculnya piagam yang sebagian besar isinya akhirnya menjadi preambule UUD 1945 tersebut tentu bukan tidak diwarnai dengan kompromi antara para tokoh kebangsaan dan religius Islam. Ini bisa dilihat pada sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk- pemeluknya”.
Kita menyadari bahwa bentuk kompromi itu wajar karena memang mayoritas rakyat Indonesia muslim. Tetapi realitanya Piagam Jakarta itu akhirnya sila pertamanya berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tujuh kata penting penyertanya setelah kata “Ketuhanan” dihilangkan pada saat sidang umum PPKI untuk menetapkan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945. Penghilangan ketujuh kata itu terjadi karena adanya keberatan para tokoh dari Indonesia timur yang merasa sebagai penganut agama minoritas tidak terakomodir dalam dasar negara.
Bisa dipastikan pada saat itu terjadi diskusi dan diplomasi yang sangat dinamis. Namun, kesadaran akan pentingnya menjaga persatuan dan utuhnya NKRI yang baru satu hari merdeka menyebabkan semangat nasionalisme dan toleransi justeru mengedepan. Setelah kerja keras yang menghasilkan piagam Jakarta sebagai kompromi yang pertama di rumah Soekarno, rupanya para tokoh yang berasal dari religius Islam mau berbesar hati dan mementingkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan. Mereka mau mengalah untuk menang.
Dalam lobi dan diplomasi ternyata mereka tidak cukup bisa meyakinkan daerah-daerah di Indonesia yang mayoritas penduduknya non muslim untuk tidak memisahkan diri dari NKRI jika tujuh kata tersebut tetap tercantum. Daripada NKRI menjadi tumbal, akhirnya mereka menerima hasil akhir sila pertama sebagaimana tercantum dalam Pancasila yang sekarang. Begitu besarnya rasa kebangsaan para pendiri NKRI itu sehingga untuk mengubah sila pertama tersebut bahkan konon hanya membutuhkan rapat kecil selama 15 menit. Sejak saat itu bangsa ini secara resmi mengakui satu-satunya dasar negara adalah Pancasila yang sila pertamanya berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Ujian Ber-Pancasila
Perjalanan negara ini di dalam mempertahankan Pancasila pun berkali-kali teruji. Walaupun sudah ada kesepakatan bahwa dasar negara kita adalah Pancasila, tetapi masih saja ada pihak-pihak yang merasa tidak puas sehingga memiliki niat untuk menggantinya. Mereka melakukan berbagai aksi pemberontakan karena ketidakpuasan. Aksi-aksi tersebut berasal dari kelompok ekstrim kiri maupun ekstrim kanan. Ekstrim kiri berasal dari penganut komunis, marxis, leninis, dan fasis sedangkan ekstrim kanan berasal dari penganut agama yang fundamentalis radikal. Sebenarnya masih ada lagi yang yang juga menjadi ancaman serius bagi kehidupan ber-Pancasila, yaitu paham liberalis, kapitalis, dan radikal sekularis, namun sampai saat ini penganut paham ini belum sampai pada tataran ekstrim yang melakukan pemberontakan.
Berkali-kali berbagai aksi pemberontakan untuk mengganti dasar negara Pancasila berhasil ditumpas oleh negara, namun bahaya laten bukan berarti tidak ada. Kita tentu tidak pernah lupa bagaimana sejarah mencatat pemberontakan PKI Madiun, Gestapu, Blitar Selatan, DI, TII, Kartosuwiryo, dan lain-lain. Meski semua itu sudah usai, bukan berarti pekerjaan rumah kita sudah selesai. Paham-paham yang merongrong Pancasila seperti komunisme, marxisme, leninisme, fasisme, liberalisme, kapitalisme, radikalisme sekular, dan radikalisme agamis ditengarai banyak beredar di masyarakat dan masih eksis.
Dengan runtuhnya Orde Baru dan terbukanya kesempatan berdemokrasi seluas-luasnya pada era reformasi ini maka kesempatan untuk mengekspresikan diri dengan leluasa lebih bisa dilakukan oleh siapa saja. Terlebih lagi kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemudahan mengakses dan menyebarkan informasi melalui internet membuat paham-paham anti Pancasila dan NKRI berpotensi untuk berkembang pesat dan menggurita. Jika dibiarkan maka paham-paham yang merongrong Pancasila dan keutuhan NKRI tersebut akan dengan mudahnya mencengkeram pemikiran anak bangsa. Apalagi jika mereka menguasai media, semakin mudah pihak-pihak yang anti Pancasila melakukan infiltrasi paham-paham tersebut ke dalam otak kita tanpa terasa.
Akibat infiltrasi tesebut banyak yang kemudian sadar atau tidak sadar telah menggunakan standar ganda dalam pengamalan Pancasila. Disinyalir pada saat ini masih banyak komponen bangsa yang mengaku Pancasilais, tetapi juga terbiasa bertindak fasis, komunis, liberalis, atau radikalis. Jadi pada saat yang sama mereka setuju pada pengamalan moral Pancasila, di sisi lain mereka juga melakukan tindakan anti Pancasila.
Misalnya, ada yang mengatakan bahwa hukum sebagai panglima, tapi realitanya mereka melakukan tebang pilih di dalam memberikan sanksi hukum kepada yang bersalah. Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Ada orang yang begitu tekun beribadah, tetapi pada saat yang sama juga tidak menampik untuk melakukan tindakan radikal dan intoleran. Ada yang selalu menggembar-gemborkan ekonomi Pancasila, tetapi mereka justeru menjadi pelopor ekonomi yang kapitalis liberalis. Ada yang mengatakan cinta NKRI, tetapi tindakannya justeru merongrong kewibawaan negara. Dan seterusnya.
Untuk itu dibutuhkan konsistensi dan komitmen semua komponen bangsa, mulai dari presiden, menteri, pejabat, legislator, alim ulama, tokoh agama, tokoh masyarakat, pelajar, mahasiswa, buruh, semua profesi, terutama guru yang menjadi ujung tombak pendidikan, untuk saling bahu membahu menyebarkan morale ideology Pancasila dalam arti sebenarnya.
Revitalisasi Moral Pancasila
Untuk mengantisipasi semua itu, semua komponen bangsa harus kembali kepada komitmen awal para para pendiri NKRI. Mereka lebih memilih Pancasila sebagai dasar negara, bukan yang lain, karena itulah yang paling tepat untuk NKRI. Pancasila dengan Bhinneka Tunggal Ika-lah yang bisa menyatukan perbedaan yang begitu besar dan kompleks yang dimiliki bangsa ini. Mereka sudah mencontohkan betapa kebesaran jiwa yang mengedepankan nasionalisme dan toleransi, kemauan untuk meletakkan kepentingan negara di atas kepentingan golongan dan pribadi, serta loyalitas kepada Pancasila dan tetap menjaganya sebagai dasar NKRI telah menjaga keutuhan NKRI sampai saat ini. Tampaknya pilihan kita hanya satu, kembali mempertegas loyalitas kepada Pancasila. Atau, kesetiaan itu akan terkikis pelan-pelan bersama lenyapnya NKRI. Jika ingin Pancasila sebagai landasan idiil dan moril bernegara tertanam dengan kokoh dalam keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan, mau tidak mau moral Pancasila bangsa ini harus direvitalisasi.
Memahami dan mengamalkan Pancasila dengan 36 butir pengamalannya bukan pekerjaan ringan. Bagaimana memahami pengamalan butir-butir tersebut diakui atau tidak telah menjadi multi tafsir. Ibaratnya, surat Almaidah ayat 51 yang sumbernya kitab suci Alquran dan dikelilingi banyak hadits saja ditafsiri dengan berbagai cara, apalagi ini buatan manusia. Jadi potensi Pancasila untuk diutak-atik pemahamannya sesuai dengan kepentingan yang melakukan menjadi besar sekali.
Maka saat ini perlu diadakan tindakan yang dapat merevitalisasi moral Pancasila bangsa ini. Hal itu bisa dilakukan dengan memberdayakan peran-peran institusi yang berkepentingan untuk mendidik dan menanamkan kembali nilai-nilai Pancasila yang disepakati. Jika demikian, peran guru menjadi sangat penting sebagai ujung tombak penentu keberhasilan usaha ini.
Ada lima cara yang dapat ditempuh untuk mendidik masyarakat agar moral Pancasilanya kembali terevitalisasi. Yang pertama adalah mendidik dengan keteladanan atau uswatun hasanah. Jadi siapa pun yang memiliki kesempatan berada di depan, baik sebagai pemimpin, pembimbing, motivator, manajer, supervisor, guru, orang tua, dan lain-lain sebaiknya memberikan keteladanan dalam melaksanakan nilai-nilai moral Pancasila. Dengan teladan tersebut maka orang menjadi lebih mudah untuk mengamalkan moral panzààcasila tersebut.
Yang kedua, mendidik dengan kebiasaan. Sebuah pepatah mengatakan, alah bisa karena biasa, lancar kaji karena diulang. Artinya segala sesuatu apabila dibiasakan maka mengerjakannya menjadi lebih ringan. Jadi segala tindakan yang sesuai dengan moral Pancasila yang terus menerus dibiasakan, kapanpun waktunya dimanapun tempatnya, dan dengan siapapun interaksinya, maka lama-kelamaan hal yang baik tersebut akan menjadi sebuah kebiasaan.
Yang ketiga, mendidik dengan nasihat. Artinya nilai-nilai moral Pancasila sebagai sebagai sebuah pesan kebajikan harus terus menerus disampaikan dalam bentuk petuah atau nasehat. Semakin sering sebuah nasihat diberikan maka semakin ingat orang akan nilai-nilai kebajikan dari nasihat tersebut. Suatu nasihat yang disampaikan secara terus-menerus akan mendukung terjadinya kristalisasi nilai-nilai moral. Nasihath itu akan masuk ke dalam memori jangka panjang penerimanya untuk diingat terus menerus dan pada akhirnya diamalkan.
Yang keempat, mendidik dengan pengawasan dan perhatian. Amal perbuatan yang sesuai dengan moral Pancasila bisa saja dipahami secara keliru sehingga berimbas pada kesalahan dalam pengamalannya. Untuk itu diperlukan pengawasan dan perhatian terhadap mereka yang memperoleh pendidikan moral Pancasila. Tanpa pengawasan dan perhatian, boleh jadi uswatun hasanah, pembiasaan, dan nasehat yang diberikan akan sia-sia saja, sebab tidak ada kontrol, apakah moral Pancasila itu benar-benar dilaksanakan ataukah tidak.
Yang kelima adalah mendidik dengan sanksi. Ini adalah pilihan terakhir. Jika diperlukan, sanksi harus diberikan kepada mereka yang jelas-jelas melanggar moral Pancasila. Pemerintah dalam hal ini harus bersepakat dengan legislator untuk membuat peraturan legal formal untuk memberikan sanksi para pelanggar moral pancasila. Bentuknya bisa macam-macam mulai dari sanksi moral sampai kalau perlu harus menginap di balik jeruji besi lembaga pemasyarakatan.
Tentu butuh energi besar untuk menjaga Pancasila sebagai dasar negara, tetapi tegaknya Pancasila adalah tegaknya NKRI. Karena keduanya adalah satu paket. Jadi jika ingin NKRI tetap bersatu kokoh berdiri, Pancasila harus menjadi harga mati.
Mampuono
Sekjen IGI, founder metode Menemu Baling
Ditulis dengan Metode Menemu Baling www.menemubaling.com
Sampangan, 31 Mei 2017