Gus Mus pun Menemu Baling

0
1863

Beberapa hari lalu saya diajak oleh ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) wilayah Semarang dan sekitarnya, Mas Farid, untuk berkunjung ke tempat Gus Mus di Leteh, Rembang. Tujuannya adalah mengundang beliau untuk menjadi salah satu pembicara sarasehan tentang cara mengantisipasi berita hoax yang berpotensi memecah belah bangsa.

Menurut informasi kami akan diterima di pondok sekitar jam 09.00 pagi karena jam 10.00 beliau harus mengisi pengajian rutin selapanan. Kami memperkirakan perjalanan semarang palembang paling cepat sekitar 3 jam. Apalagi saat ini sedang musim penghujan di mana cuaca ekstrim seringkali terjadi. Maka kami memutuskan untuk berangkat dari semarang pada 05.00 pagi.

Dan benar saja. Cuaca pagi yang mula-mula cukup cerah tiba-tiba menjadi semakin temaram. Begitu kami meluncur menuju Semarang bawah, selaksa mendung hitam datang saling bersusulan. Mereka bergelayutan di langit bagai raksasa yang hendak menerkam..

Sepanjang perjalanan mendung semakin pekat. Langit yang hitam menjelaga membuat gelap melingkupi semuanya. Rasa hati begitu berdebar melihat pemandangan yang terhampar. Ada syak dan ada doa semoga tidak terjadi apa-apa, terutama di daerah rawan bencana. Gelap terus menyergap. Seolah hari berbalik, kembali lagi menuju dini hari.

Dan, bress! Hujan turun seperti dituangkan dari langit. Getaran akibat jatuhnya air yang menghantam atap, bodi, dan kaca mobil sangat terasa. Hujan derasnya tak terkira. Lebatnya air langit itu membuat kaca depan Livina mas Farid menjadi buram. Gerakan wiper yang menyapu air ke kiri dan kanan seolah percuma saja. Setiap kali air disapu, muncul lagi air yang lebih besar volumenya. Hujan terus deras mengguyur. Rupanya hari-hari itu berdekatan dengan Cap Go Meh dan malamnya bakal terjadi purnama. Hari-hari yang di dipercaya oleh masyarakat Tionghoa sebagai hari penuh berkah jika hujan turun melimpah.

Pelan namun pasti kami terus bergerak. Hujan terus turun, tetapi lama-lama reda juga. Tinggal grimis kecil yang tersisa. Kami ingin memastikan bahwa jam 09.00 kami harus sudah sampai di tempat tujuan. Beberapa kali kami memilih jalur lingkar untuk menyingkat waktu. Hujan yang terus mengguyur justru kami jadikan sebagai alat penghibur. Menjelang memasuki kota Pati kami dihadapkan pada dua pilihan, mau terus atau lewat jalan lingkar selatan Pati. Kami meyakini bahwa jika kami memilih terus dan memasuki kota Pati nantinya akan terjadi banyak hambatan, terutama padatnya lalu lintas di pagi hari, atau penumpukan di sekitar lampu lalulintas. Maka kami pun memilih untuk berbelok ke kanan dan menggunakan jalur lingkar selatan.

Awal memasuki jalur tersebut terasa aman-aman saja. Namun begitu 300 meter tercapai, mulailah terasa ada masalah. Rupanya pilihan kami untuk membelok ke kanan bukanlah pilihan yang cukup tepat. Ternyata di jalur itu sudah terjadi antrean yang panjang. Hampir tidak ada satupun mobil pribadi yang melintas. Yang ada hanyalah barisan truk-truk besar yang penuh muatan. Mereka berjalan seperti siput. Pelan sekali.

Jalur yang kami lalui memang benar-benar mirip sawah. Lumpur dan kubangan ada di mana-mana. Kasihan benar itu Livina. Untungnya mas Farid adalah driver yang handal. Bertahun sudah dia kuasai medan yang tersulit di jalan-jalan trans Sumatera sehingga jalur rusak berat yang seperti sedang kami lalui itu hal yang biasa dan ringan baginya. Bahkan beberapa kali dia melakukan manuver dengan menyalip truk-truk besar di area berlumpur sementara dari depan rombongan tronton sudah menghadang. Benar-benar membuat jantung semua penumpang deg-degan. Memang piawai benar itu orang.

Sekitar jam 09.00 pagi akhirnya kami sampai di lokasi. Ternyata kami sedikit salah informasi, sebab ternyata gus mus harus mengisi pengajian dari pagi sampai jam 10.00-an, bukan mulainya jam 10.00 pagi dan berakhir siang. Akhirnya kami dipersilahkan untuk menunggu di kopantren alias koperasi pesantren yang letaknya tidak jauh dari pondok. Kami sempat berkenalan dengan beberapa santri yang juga para aktivis. Mereka rata-rata tergabung dalam organisasi Pemuda Ansor. Tampak di sekeliling tempat pertemuan yang sangat sederhana itu terpampang spanduk-spanduk yang menyatakan keikutsertaan Pemuda Ansor di dalam pemberian bantuan dan pertolongan kepada para korban musibah banjir di Rembang dan sekitarnya.

Setelah menunggu beberapa saat, segera keluar empat cangkir kopi hitam. Kami ditraktir oleh beberapa santri yang baru kenal. Sambil berkenalan kami saling berbasa basi agar lebih akrab. Salah seorang keponakan Gus Mus juga menemani kami mengobrol dan memandu kami untuk bertemu dengan Gus Mus. Belum sampai kopi hitam itu tandas separuhnya ternyata kami sudah mendapat pemberitahuan bahwa kami harus segera menuju ke pondok.

Peserta pengajian Gus Mus jumlahnya ratusan dan tampaknya mereka berasal dari berbagai penjuru Rembang. Jalan menuju podok tampak penuh dengan kendaraan roda dua yang diparkir berjejer di kiri dan kanan. Sementara mobil-mobil diparkir di tempat khusus yang lebih lapang.

Saya sempat mengundang para pengurus Ikatan Guru Indonesia (IGI) yang berdomisili di Rembang untuk turut bergabung. Saya beranggapan bahwa Mafindo yang netral dan sedang mengunjungi Gus Mus, ulama yang juga netral, serta tujuannya adalah mulia, yaitu untuk mempererat rasa kebangsaan dan menghindarkan masyarakat dari fitnah dan kebohongan, maka jika IGI terlibat akan sangat paralel. Saya menganggap bahwa peran serta IGI diperlukan dalam membantu persebaran literasi yang sudah menjadi garapan sehari-hari IGI sehingga orang tidak mudah termakan berita hoax yang banyak merebak akhir-akhir ini.

Akhirnya setelah menunggu cukup lama dan mengantri di dalam ruang tamu pondok kami Mendapat giliran untuk menyampaikan maksud kedatangan kepada Gus Mus. Mas Farid menyampaikan bahwa Masyarakat Anti Fitnah Indonesia Semarang bermaksud mengundang Gus Mus untuk menjadi salah satu pembicara dalam acara sarasehan yang akan dilaksanakan di Wisma perdamaian. Beliau ternyata jadwalnya sudah sangat penuh, tetapi karena memandang penting kegiatan tersebut, beliau akhirnya bersedia untuk hadir pada tanggal 20 April 2017 siang.

Sebelum berpamitan untuk pulang saya menyempatkan diri untuk memperkenalkan para pengurus IGI yang berdomisili di Rembang yang bersama-sama bersilaturahmi ke tempat Gus Mus dengan teman-teman dari Mafindo. Saya juga menyampaikan niat kami untuk bisa bersinergi dengan pondok pesantren dalam rangka peningkatan literasi dan penguatan benteng diri dari berita hoax yang beraroma fitnah dan provokasi. Saya sampaikan juga bahwa tahun 2009 IGI ketika masih bernama KGI (Klub Guru Indonesia) pernah mengadakan kerjasama pelatihan untuk para guru di Madrasah Aliyah-nya Gus Mus dengan CSR dari Sampoerna Foundation.

Pada saat yang sama saya juga mengenalkan metode Menemu Baling (Menulis dengan mulut dan membaca dengan telinga) yang langsung diimplementasikan oleh Gus Mus. Dengan menggunakan tablet yang merupakan device utama dalam program SAGUSATAB (Satu Guru Satu Tablet) IGI Gus Mus mulai menuliskan dengan mulut pesan-pesan kepada anak bangsa tentang bagaimana bersikap dalam menghadapi berita-berita hoax.

Berikut ini adalah pesan-pesan Gus Mus yang ditulis dengan Metode Menemu Baling:

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Kondisi sekarang di dunia sosial media itu penuh dengan fitnah dengan hujatan-hujatan kebencian, itu menurut saya sumber utamanya adalah dari sikap berlebih-lebihan. Saya jauh hari sudah memperingatkan. Mencintai itu jangan berlebih-lebihan dalam segala hal. Ini akibat berlebih-lebihan dalam mencintai ataupun membenci. Itu berakibat seperti yang sedang terjadi orang di dalam apa namanya bersaing misalnya sudah lupa kalau bersaing sama sama mendukung calon presiden.

Kita sering lupa bahwa masing-masing calon itu sama-sama orang Indonesianya. Ndak ada orang Yahudinya, ndak ada orang Amerikannya, tidak ada orang Arab atau orang yg lainnya. Orang Indonesia semua. Prabowo sama Jokowi sama-sama Indonesia. Kedua-duanya pasti mempunyai program untuk kebaikan Indonesia, tapi ketika pendukung ini selalu berlebih-lebihan di dalam mendukung calonnya, selalu tidak hanya memuji calonnya saja.

Kalau bisa mestinya sebatas itu. tidak boleh melebihi. Jika kita senang dan cinta sama istri kita itu kita batasi memuji istri kita setinggi langit. Misalnya alisnya bagi semut beriring, dagunya bagai lebah bergantung, asal jangan diteruskan. Daripada istrimu?!

Untuk melawan penyebar berita-betia bohong, hoax, provokatif, atau perpecahan, jangan gunakan istilah “sing waras ngalah”. Sebab jika kita mengalah maka justru merekalah yang merasa waras dan menang.

Maka kita harus melawan atau menanggulangi apa yang mereka sebarkan dengan cara yang sangat berbeda dengan mereka tentunya. Lawanlah ujaran kebencian dengan kasih sayang. Tidak dengan bahasa kebencian.

Sekian. Mari kita lawan fitnah di sekitar indonesia.

Wa’alaikum salam wr. wb.”
Salam Pergerakan Pendidikan!
Mampuono R. Tomoredjo

Sekjen IGI

Comments

comments

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini