Apakah sebagai Guru Kita Masih berhati nurani?

Sesi Menemu Baling, menulis dengan mulut membaca dengan telinga dalam perjalanan menuju kantor pagi ini. 19-01-2017

0
1842

Apakah kita sebagai guru masih memiliki hati nurani? Mari kita tengok bersama-sama ke dalam hati sanubari.

Tulisan ini akan menukil sebuah ayat dari kitab suci umat Islam tetapi saya meyakini bahwa apa yang termasuk di dalamnya adalah sesuatu yang universal, yang berlaku secara umum kepada umat manusia dari agama manapun.

Dalam surat al Baqarah ayat 44 dengan bahasa halus-Nya Allah berfirman, yang artinya kurang lebih, “Janganlah kamu menyuruh seseorang berbuat kebajikan sementara kamu melupakan dirimu sendiri. Bukankah kamu membaca kitab. Tidakkah kamu berpikir?”

Saya bukanlah seorang yang pandai menafsirkan ayat-ayat, tetapi apa yang terpampang di dalam terjemahan kitab suci Alquran tersebut menurut saya semuanya sudah jelas. Bahwa jika kita menyuruh orang lain berbuat kebaikan maka sudah seharusnya kita juga melakukan kebajikan yang kita suruhkan. Kita tidak boleh melakukan apa yang dalam bahasa Jawa disebut sebagai jarkoni atau iso ujar iso konkon tapi ora iso nglakoni. Artinya, bisa berujar, bisa menyuruh tetapi tidak bisa melakukan.

Bahasa yang di firmankan Tuhan tersebut memang halus, tetapi sebenarnya penuh dengan sindiran bagi yang paham. Menurut salah seorang kyai di Kabupaten Pekalongan, sebenarnya  kalimat tanya terakhir “Tidakkah kamu berpikir?” (Arab: Afala ta’qiluun) jika diterjemahkan secara letterlijk akan bisa berbunyi “Apakah kalian waras?”. Tetapi kemasan bahasa yang halus tampaknya menyebabkan hanya mereka yang berhati nurani saja yang paham sindiran tersebut.

Lantas bagaimana implementasinya untuk kita sebagai guru? Apa saja yang sudah kita lakukan kepada orang lain untuk menyuruh mereka berbuat kebajikan? Dan sudahkah kita melakukan apa saja yang kita suruhkan?

Mari kita berkaca ke dalam diri bersama-sama. Semua pasti setuju bahwa yang paling sering disuruh oleh guru adalah para siswanya. Dan perintah yang paling sering mereka terima adalah untuk terus menerus belajar lagi hal-hal yang baru. Apa yang sebelumnya tidak pernah mereka ketahui harus terus-menerus dipelajari, sehingga mereka menjadi tahu, paham, bahkan bisa menciptakan sesuatu dari apa yang sudah dipelajari tersebut. Para siswa ini bahkan kadang-kadang juga menerima tugas yang seandainya gurunya diminta mengerjakan belum tentu guru tersebut bisa melakukannya.

Jika guru ditanya, apakah jika mereka menyuruh siswanya belajar terus hal-hal yang baru, dari tidak tahu menjadi tahu, dari kelas 1 SD naik ke kelas 2, lanjut ke kelas 3, dan seterusnya sampai SMP dan SMA, bahkan sampai masuk perguruan tinggi, itu adalah perbuatan yang mulia, berpahala, bahkan menjadi sebab masuk ke dalam surga? Jawaban semua guru hampir selalu 100% adalah iya!

Tetapi tunggu dulu. Sekarang pertanyaannya, apakah guru-guru yang menyuruh siswanya untuk belajar terus menerus sesuatu yang baru dan mengerjakan tugas-tugas agar menjadi lebih mahir juga melakukan hal yang sama? Jangan-jangan tidak. Bukankah sebagian besar dari kita lebih suka bernostalgia sambil mengingat kenangan manis ketika dulu kita pernah belajar sehingga sukses di masa lalu? Lalu cita-cita sudah tercapai kita berhenti dan tidak pernah belajar lagi karena merasa semuanya sudah terpenuhi. Nah, jika kita berhenti dan tidak pernah belajar lagi secara terus-menerus hal-hal yang baru, maka kita akan terkena sindiran dari Tuhan didalam surat Al Baqarah ayat 44 tadi.

Maka muncullah pertanyaan-pertanyaan yang berputar dalam pikiran saya pagi ini. Apakah sebagai guru kita masih berhati nurani?

Apakah sebagai guru kita masih ber hati nurani ketika dalam gerakan literasi sekolah kita menyuruh siswa melakukan SSR (sustained silent reading) atau membaca dalam hati secara berkelanjutan terhadap buku-buku baru selama 15 menit sebelum pembelajaran di mulai sementara kita hanya menunggui saja tanpa melakukan hal yang sama di waktu itu atau di waktu yang berbeda?

Apakah sebagai guru kita masih berhati nurani, ketika seringkali selepas berakhirnya masa liburan akhir semester, begitu siswa masuk ke kelas kita meminta mereka untuk menuliskan catatan harian perjalanan mereka selama liburan. sementara kita tidak melakukan hal yang sama? Kita tidak pernah mencatatkan kegiatan-kegiatan, kisah-kisah perjalanan, atau praktek-praktek terbaik kita selama liburan sehingga bisa menginspirasi orang orang yang membaca tulisan kita.

Apakah sebagai guru kita masih memiliki hati nurani ketika kita menyuruh murid-murid kita untuk terus menerus membuat  kreasi-kreasi sementara kita sudah lama berhenti? RPP dan media pembelajaran pun kita mengkopi bahkan membeli. Kita alergi kepada segala sesuatu yang berbau IT.

Apakah kita sebagai guru masih memiliki hati nurani ketika kita meminta para siswa bercita-cita yang tinggi dan untuk terus menerus merencanakan target target kehidupan dari SD, SMP, SMA, SMK, bahkan di perguruan tinggi hingga menjadi orang-orang terbaik di dunia sementara kita melupakan diri kita sendiri? Kita tetap menjadi guru yang biasa saja, dengan kompetensi yang mandeg, bahkan cenderung menurun. Kita sudah bertahun membiarkan macan di dalam pikiran kita tidur mendengkur sehinhga menjadi guru yang hampir tanpa nilai lebih. Menjadi guru yang pekerjaannya hanya mengajar saja atau paling tinggi mengajar dan mendidik saja tanpa terbersit sedikitpun untuk memberikan contoh yang terbaik dan menginspirasi. Guru yang menginspirasi tidak hanya muridnya, tetapi juga guru-guru yang lain, juga masyarakat, baik di lingkungannya sendiri, di kotanya, di provinsinya, di negaranya, bahkan di dunia.

Apakah kita sebagai guru masih memiliki hati nurani ketika kita biarkan anak anak didik kita menjadi para pesuruh, baik di negeri sendiri maupun di negeri orang? Sementara kita menikmati kekayaan dari jerih payah rakyat, menghisap dari kehidupan dari pajak atau SPP bulanan yang mereka bayarkan. Lalu kita tanpa mau menyadari ternyata telah membiarkan rakyat dengan generasi yang dihasilkannya berkompetensi rendah untuk menjadi pesuruh dari bangsa-bangsa lain, baik di negeri sendiri maupun di di luar negeri..

Apakah sebagai guru kita masih memiliki hati nurani ketika kita bertega hati membiarkan munculnya  generasi-generasi lemah yang tidak duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan generasi bangsa lain di kancah percaturan dunia. Dan itu sebagiannya  diakibatkan oleh kelalaian kita yang terlanjur lama menikmati zona nyaman dan melupakan kompetensi kita?

Jika kita masih terusik atau bahkan merasa tersinggung dengan tulisan ini berarti kita ini masih dikaruniai hati nurani. Dan IGI adalah tempat para guru berhati nurani menempa diri. Mari berjuang mengembalikan marwah dan hati nurani guru Indonesia lewat IGI.

 

Semarang, 19 januari 2017. Menemu Baling  dalam perjalanan menuju ke kantor.

Salam pergerakan pendidikan
Mampuono
Menulis lah lima menit

Comments

comments

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini