“AHLI” MENGGAMBAR, USAHA 110℅, BAKAT -10℅

0
2400

Menurut Malcolm Gladwell dalam bukunya yang berjudul “Outliers”, untuk mencapai level expert (ahli), seseorang perlu menekuni bidangnya selama 10.000 jam. “Hukum 10.000 Jam”, demikian dia menamai simpulan yang dia peroleh dari berbagai risetnya tersebut. Penulis mungkin salah satu orang yang sangat mempercayai hasil penelitian Gladwell, karena ada beberapa hal yang penulis sendiri mengalaminya. Contohnya, keterampilan menggambar yang sampai saat ini masih penulis miliki. Banyak orang menganggap penulis sebagai “ahli” untuk ketrampilan yang penulis tekuni sambil lalu sebagai hobby ini. Setidaknya berbagai kejuaraan multimedia yang penulis raih dari tingkat provinsi (1x), nasional (7x), sampai tingkat internasional (1x) melibatkan penggunaan ketrampilan ini.

Sejak kecil sampai tua banyak orang yang mengatakan bahwa penulis berbakat menggambar. Penulis hanya tersenyum dan cukup mahfum ketika mereka mengatakan itu. Ya, penulis dikatakan berbakat karena menurut mereka, setiap kali membuat coretan selalu berakhir dengan produk gambar yang menurut mereka apik. Itu karena penulis berbakat menggambar dan mereka tidak, sehingga menggambar mudah bagi penulis tetapi sulit bagi mereka, begitu kata mereka.

Menurut penulis sendiri, keterampilan menggambar tersebut bukanlah sesuatu yang datang begitu saja, atau bakat sejak lahir, tetapi lebih merupakan hasil latihan selama bertahun-tahun. Bisa dibilang, penulis sudah berlatih menggambar selama kurang lebih 45 tahun. Itu dihitung sejak penulis berusia tiga tahun. Jika setiap hari penulis rata-rata melakukannya 45 menit saja, maka selama 45 tahun penulis sudah menekuni kegiatan gambar menggambar selama 0,75 x 365 x 45 = 12.318,75 jam.

Penulis lahir di tahun di mana kertas dan pensil masih sangat jarang. Media yang paling dekat dengan penulis adalah tanah lapang. Alatnya adalah kerikil, kereweng (pecahan genting dan tembikar), ranting pohon atau dahan. Nah, sejak sebelum masuk ke taman kanak-kanak penulis sudah terbiasa bermain-main sendiri di halaman. Penulis menggunakan alat-alat tersebut untuk menggores permukaan tanah lapang. Penulis sering memberdayakan imajinasi di dalam pikiran untuk menggerakkan tangan dan menciptakan berbagai gambar dalam wujud goresan. Ada gambar orang, binatang, tumbuhan, bahkan bentuk hybrid seperti ikan berkepala burung, ayam berwajah wanita, kambing berleher ular, dan sebagainya.

Sejarah (baca: sejarah buatan penulis sendiri) mencatat, sejak tahun 1973, di tanah lapang kira-kira seukuran 12 x 20 m2 depan rumah kayu di desa Bangetayu itu, sering muncul bentuk-bentuk gambar berukuran raksasa . Gambar itu terlihat di pagi hari ketika hujan tidak turun. Tentu itu bukan circle crop hasil karya alien! Toh gambar itu juga tidak pernah dikabarkan di dalam berita-berita surat kabar, televisi, maupun internet sebagaimana circle crop. Itu adalah gambar yang penulis buat sore hari menjelang magrib yang sampai pagi hari masih terlihat bekasnya.

Ketika sudah ada televisi masuk kampung, kira-kira tahun 1975, penulis sering menonton TV di tempatnya Lik Sadimin, salah seorang tetangga yang cukup berada. Di rumahnyalah satu-satunya televisi yang merupakan barang sangat mewah saat itu berada. Semua anak di kampung penulis yang panjangnya 1 km berkumpul di rumah itu setiap sore. Mereka sudah antri sejak pukul 16.00 WIB untuk menunggu siaran TVRI tepat pukul 16.30 WIB.

Gambar-gambar hitam putih di dalam film kartun seperti Scooby-doo, Space Ghost, Batman dan Robin, atau Donald Duck, dll. yang tayang di TVRI menjadi inspirasi penulis untuk mencorat-coret halaman depan rumah. Tanah lapang yang sangat luas dan berdebu halus itu selalu membuat tangan ini serasa “gatal” untuk menggambarinya. Hasil akhirnya berupa gambar-gambar yang variatif mulai dari yang berukuran kecil sampai raksasa yang ukurannya bisa sepuluh meter lebih.

Perkembangan selanjutnya adalah ketika penulis mulai mengenal kertas dan pensil. Pada tahun 1977 penulis berhasil menjalani tes giduk kuping, yaitu meraih telinga kiri dengan tangan kanan dengan meletakkan lengan di atas kepala atau sebaliknya. Hasilnya penulis lulus dan dinyatakan layak untuk masuk ke sekolah dasar. Nama SD penulis adalah SDN Gebangsari. Di kelas satu, ketika teman-teman menggambar pemandangan dua gunung dan satu matahari ditengahnya, penulis lebih suka menggambar pemandangan laut dengan kapalnya. Jikapun toh penulis menggambar sebuah gunung, penulis selalu memilih satu gunung dengan permukaan yang terjal dan jalan yang berkelok-kelok. Penulis kadang ingin berbeda dan menciptakan hal-hal yang baru yang teman-teman penulis tidak lakukan.

Ketika pada tahun-tahun berikutnya muncul pelajaran menggambar dari Pak Tino Sidin yang disiarkan di TVRI secara rutin maka penulis mendapatkan pelajaran yang lebih banyak lagi. Cara-cara menggambar Pak Tino yang ringkas, sederhana, dan cepat penulis adopsi sehingga keterampilan menggambar penulis menjadi lebih meningkat lagi. Penulis bahkan pernah menjadi juara menggambar tingkat SD Gebangsari ketika penulis duduk di kelas dua. Seingat penulis, lomba pada saat itu diadakan untuk memperingati hari Kartini. Pesertanya adalah seluruh siswa kelas rendah yang berada di kelas satu sampai tiga. Juara duanya adalah teman sekelas yang penulis bantu untuk menggambar.

Aktivitas menggambar penulis hampir tidak pernah berhenti. Setiap hari penulis selalu men corat-coret hampir semua bagian tepi buku tulis cap banteng yang tidak dimanfaatkan untuk tulisan. Selain itu, meja pun akhirnya juga menjadi sasaran ketika ruang kosong di tepi buku yang tersedia kurang. Makanya tidak heran kalau setiap kali penulis berada di kelas kelas yang berbeda penandanya adalah banyaknya coretan-coretan gambar di atas meja. Jadi wajar saja kalau guru kelas sering marah dan geleng-geleng kepala karena ulah penulis.

Ketrampilan menggambar penulis meningkat menjadi ketrampilan melukis. Itu terjadi ketika penulis masuk SMPN 20 Semarang. Guru seni rupa penulis adalah pak Yatino. Beliau dijuluki sebagai “Pak Ya Bukan” karena setiap mengajar beliau terlalu sering mengucapkan tagline tersebut. Begitu memegang penggaris beliau akan mengatakan, “Ini penggaris, ya bukan?” Setelah membuat garis maka beliau jelaskan, “Ini garis lurus, ya bukan?” dan seterusnya. Dari beliau penulis belajar membuat gambar perspektif dan melukis dengan cat air. Dan pada saat ujian di kelas tiga kami harus membuat lukisan besar untuk memenuhi tugas akhir seni rupa. Lukisan hasil karya penulis termasuk satu dari yang terbaik. Itu kata teman-teman sekelas.

Di SMA ketrampilan melukis dengan cat air di kertas meningkat menjadi melukis dengan cat minyak di atas kanvas. Mendiang pak Handoyo, guru seni rupa penulis di SMA 3 Semarang, mewajibkan setiap kelas membuat projek pameran lukisan pada saat penulis duduk di kelas dua. Di kelas 2A-1.4 ada kesepakatan, yang bisa melukis harus membantu lainnya. Maka jadilah kami menginap di rumah salah satu teman, Rudi Hartono namanya, untuk bersama mewujudkan karya (baca: kerjabakti membuatkan lukisan buat teman).

Malam itu kita “bekerja keras”. Yang bagian melukis melakukan kewajibannya, melukis sebanyak-banyaknya. Yang bagian menyanyi menghibur temannya yang sedang bekerja. Yang bagian logistik mencarikan makan di sekitar Tugu Muda. Yang bagian kongkow menikmati saling berbagi cerita. Semuanya “bekerja keras” sesuai bidangnya. Esoknya, semua karya terpajang dengan eloknya. Pameran lukisan anak 2A-1.4 yang bertempat di pendopo depan sekolah dan dikunjungi sebagian putra Ganesha, demikian siswa SMA 3 Semarang menyebut diri mereka.

Penulis juga sering diminta untuk melukis tema-tema perjuangan kemerdekaan di gapura gapura perkampungan menjelang peringatan hari kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus. Yang meminta jasa lukisan penulis bukan hanya kampung di mana penulis tinggal, tetapi juga kampung-kampung sekitar. Biasanya imbalan yang diterima oleh penulis adalah ucapan terimakasih, makanan, sesekali yang jajan, dan apresiasi terhadap lukisan yang penulis buat. Bagi penulis, apa yang sudah dilakukan oleh orang-orang yang meminta jasa kepada penulis sudah sesuai dengan salah satu dari butir Pancasila di dalam P4, yaitu menghargai hasil karya orang lain. Maka sebagai anak mudah yang nasionalis pengamal Pancasila sejati j…😉, penulis sangat ikhlas menerima bentuk bentuk apresiasi tersebut.

Suatu ketika penulis membuat sebuah lukisan yang menurut penulis sedang menjadi trend dan selalu ada di galeri galeri pameran lukisan. Lukisan tersebut bertema Balinese painting. Penulis membuat lukisan seorang gadis Bali yang cantik dengan rambut tergerai berhiaskan bunga kamboja. Gadis Bali tersebut menggunakan kemben berwarna hijau sebagaimana yang dipakai oleh para penari Bali. Menurut penulis, lukisan tersebut indah dan tampak hidup, sehingga penulis membawanya kepada salah seorang saudara untuk mendapatkan apresiasi. Sayangnya bukan pujian yang didapatkan, tetapi justru kritikan. Bagaimana mungkin penulis yang seorang muslim berani membuat lukisan manusia, apakah tidak takut ketika nanti di alam baka dituntut untuk memberinya nyawa? Demikianlah nasehat yang penulis terima, dan penulis disarankan untuk tidak memajang lukisan tersebut, tetapi sebaiknya membuangnya jauh-jauh.

Karena takut bila terjadi apa-apa di alam baka maka akhirnya penulis membuangnya. Sejak saat itu penulis memutuskan untuk berhenti melukis manusia, bahkan berhenti melukis sama sekali dan menggantikannya dengan menggambar karikatur saja. Lebih aman karena tidak betul-betul menyerupai manusia. Sebagian karikatur tersebut penulis kirimkan ke redaksi suara merdeka dan beberapa kali dimuat di mingguan cempaka. Honornya memang tidak seberapa, tetapi sebagai wadah untuk mengapresiasi para kartunis, apa yang sudah dilakukan suara merdeka adalah sesuatu yang luar biasa.

Dan sekarang, 30 tahun kemudian setelah peristiwa gadis Bali, penulis berjumpa dengan sebuah alat yang begitu canggih dan serbaguna. Alat tersebut merupakan tool andalan dalam program Satu Guru Satu Tablet Ikatan Guru Indonesia (SAGUSATAB IGI). Dengan alat itulah penulis kembali menekuni dunia lukis melukis yang sudah lama sekali penulis tinggalkan. Ada kebahagiaan sendiri ketika secara digital penulis bisa menggores kan pena stylus Samsung tab A-8 di atas kanvas virtual aplikasi Alias Sketchbook sehingga dalam waktu singkat dihasilkan lukisan-lukisan yang menawan. Dan sekali lagi, itu bukan dari bakat yang dibawa sejak lahir, tetapi lebih merupakan latihan yang tekun dan terus menerus ditingkatkan.

Sumbangan yang diberikan oleh bakat bawaan mungkin justru nilainya -10%, tetapi usaha keras menyumbang porsi 110% terhadap keberhasilan menjadi pelukis yang expert. Penulis lebih setuju jika apa yang selama ini dianggap orang-orang sebagai bakat sebetulnya adalah latihan yang dilakukan terus-menerus dengan penuh sukacita sehingga tidak terasa ternyata itu menjadi keterampilan yang melekat dan setiap saat bisa dieksplorasi untuk ditampilkan.
Selamat menjalani “Hukum 10.000 Jam’ dan menjadi expert.

Mampuono R. Tomoredjo
#menemubaling

Comments

comments